Apa yang terpikir oleh kita sekarang ini ketika seseorang di dekat kita menyebut narkoba? Masihkah seseorang di Indonesia akan terkaget-kaget ketika media memberitakan bandar yang ditangkap dengan barang bukti yang dipertontonkan di depan awak media, dan di sana para petugas yang terkadang memilih memakai masker berdiri dengan gagah?
Melihat berita seperti itu, Anda mungkin dapat menduga respon-respon yang berbeda di antara sesama anggota masyarakat. Tetapi jika Anda orangtua dari seorang remaja yang sedang tumbuh, pikiran Anda mungkin akan lebih fokus pada pengharapan agar generasi pewaris Anda itu tidak menjadi bagian dari pengguna, pengedar, apalagi menjadi gembong, bandar atau kartel. Kepada siapa atau kepada lembaga mana Anda akan berharap banyak saat ini? Anda seorang yang sangat was-was seperti saya.
Kali ini kita bicarakan narkoba itu sebagai teror yang akrab dengan kebobrokan sistemik lokal, regional dan internasional. Sebagai bangsa, narkoba itu sudah menjadi bagian dari diri kita. Bahkan dalam sebuah keterlanjuran yang menyedihkan, kini narkoba itu adalah kita. Kitalah narkoba itu.
Sebuah pemeriksaan umum yang saya coba lakukan menggiring sebuah kesimpulan yang kuat pada diri saya tentang mengapa begitu dahsyat narkoba ini merajalela. Ini sekaligus telah membuktikan bagi diri saya, bahwa regulasi sebaik apa pun tidak lagi akan banyak menolong. Hanya ada sebuah pengecualian, yakni jika ada kejelasan tindakan dan rencana yang terus-menerus dievaluasi untuk perbaikan langkah perlawanan atau perang.
Saya ingin memulai catatan pemberantasan narkoba di berbagai tempat di dunia. Saya yakin ada baiknya mengumpul berbagai data yang relevan untuk memulai tulisan ini.
Konon di Amerika, perang melawan narkoba yang sudah dilaksanakan puluhan tahun, tepatnya sejak era Presiden Nixon, telah dianggap gagal oleh masyarakat dunia. Apa sebab? Kegagalan terletak pada pilihan politik negara, karena yang diperangi bukan kartel. Negara itu hanya menyibukkan diri berburu yang kecil-kecil yang hasilnya sekaligus diheboh-hebohkan.
Rakyat Amerika jelas tidak begitu tahu kebenaran seseorang yang dinyatakan kartel ketika ia ditangkap atau ditembak mati. Nada apatisme sudah tidak terhindari dari masyarakat dunia. Seakan tidak ada kekuatan dan wibawa apa pun yang dapat diandalkan untuk berhadapan dengan Narkoba. Kita ke Australia sejenak. Di sana pernah ada cerita terus terang yang menyedihkan.
Mantan Menteri Kesehatan Australia suatu ketika mengeluh begini: “Kita memiliki lebih 4 dasawarsa pengalaman dalam perang melawan narkoba dengan pendekatan hukum, dan ternyata semua itu gagal total” (Michael Wooldeidge, Mantan Menkes Australia, 2001). Dengan kasus ini saya pun ingin mengajak Anda memeriksa aspek hukum kita di Indonesia dan seberapa sempurna terandalkan atau sebaliknya seberapa besar kelemahannya memasilitasi pertumbuhan kenarkobaan secara dahsyat.
David T Courtwright dari Amerika pernah memberanikan diri membuka rahasia umum kenarkobaan di negerinya. Ia mengatakan bahwa rintangan utama dalam strategi suply reduction dalam menghadapi penyelundupan narkoba adalah tingginya jumlah uang yang beredar dan yang dihasilkan oleh narkoba.
Apalah arti hukum jika uang tersebut nyatanya digunakan untuk “membeli” petugas, baik di dalam mau pun di luar negeri, untuk mengamankan proses budidaya, produksi dan distribusi atau marketing (David T Courtwright: “war on drug”, 1993). Karena itulah kita sangat yakin bahwa masalah integritas menjadi persoalan yang sangat krusial di seluruh dunia dalam hal perang terhadap narkoba.
Sindikat narkoba sangat mampu mendikte kekuasaan, dan integritas sosial benar-benar dengan mudah dihancurkan. Anda tak merasakan itu di Indonesia? Meski sudah sangat luas diketahui, tetapi tidak ada jalan yang ditemukan untuk merubah keadaan bahwa penegakan hukum yang tidak berbasis integritas sosial terhadap narkoba memang sudah menjadi masalah klasik di mana-mana, dan itu menyebabkan aparat hukum memilih menjadi prajurit sindikat narkoba saja.
Penegasan seperti itu datang dari seseorangdalam kapasitas dan otoritas kelembagaan sebuah organisasi tingkat dunia,
Antonio Maria Costa. Ia bekata seperti itu mewakili United Nation Deputy Secretary General and Executive Director of the UNODC United Nations office on Drugs. Ia dan lembaga dunia tempatnya bertugas tak mungkin membohongi Anda.
Di Meksiko pandangan yang lebih menyedihkan menunjukkan ketakberdayaan negara sehingga Justin B Shapiro (2010) berpendapat bahwa menuntut para penyalahguna narkoba akan cenderung menghamburkan sumberdaya penegakan hukum serta mendorong timbulnya korupsi bagi penegak hukum. Ini jelas mudah difahami, bahwa integritas sosial itu tak akan pernah tumbuh dalam iklim koruptif, dan tidak pula bisa dibeli di supermarket mana pun. Malah pasal-pasal dalam ketentuan hukum yang begitu keraplah yang diperjualbelikan.
Kini lihatlah, kata Rachel Ehrenfeld, narkoba itu sudah menjadi narcoterrorism. Semua harus bertanggungjawab dan sedihnya, tak satu pun dari modalitas kita yang dapat diandalkan untuk melawan (Rachel Ehrenfeld, 1992). Rachel Ehrenfeld adalah pakar terorisme dan topik terkait korupsi, termasuk pendanaan teror, perang ekonomi, dan narcoterrorism.
Salah satu buku Rachel Ehrenfeld paling terkenal diberi judul “Narco-terrorism: How Governments Around The World Have Used The Drug Trade To Finance And Further Terrorist activities”. Buku ini membuka kedok pemerintah dari seluruh dunia, khususnya Bulgaria, Kuba, Nikaragua, Suriah dan lain-lain, yang telah selama 25 tahun terakhir, dalam beberapa kasus hampir mendominasi bisnis narkoba untuk membiayai kegiatan teroris. Ia mendasarkan penelitian dan temuannya di sekitar titik bahwa kecuali kita mengenali aspek geo-politik situasi, masalah narkoba akan diperjuangkan di depan yang salah dengan cara yang salah dan dengan sedikit kemungkinan kemenangan.
Di Indonesia pernah ada sebuah gambaran optimisme yang belakangan amat tak berdasar, ketika tahun 2011 Jenderal Polisi Gorris Mere diberi amanah untuk memegang kendali pemberantasan narkoba. Waktu itu ia menegaskan bahwa BNN meyakini Indonesia akan bebas dari narkoba pada tahun 2015. “Setelah berhasil menyusun Jakstranas P4GN ini kami meyakini bahwa pada tahun 2015 negara Indonesia bebas narkoba”. Apakah yang kita saksikan dan kita alami sekarang sesuai dengan janji?
Menurut Presiden SBY waktu itu, salah satu faktor kesulitan ialah masyarakat kurang bisa membedakan mana yang tergolong sebagai korban, siapa-siapa yang dikatakan sebagai penjahat narkoba (SBY, 2013), meski pun sebenarnya hulu masalah bukan pada klasifikasi itu, meski pun memang itu sangat diperlukan.
Lebih dari itu, malah ucapan Presiden SBY tampaknya hanya sebuah argumen legitimasi politik atas perlunya lembaga rehabilitasi untuk pengguna, bukan perang melawan narkoba. Tampak scenario dikendalikan asing.
Pada bulan Januari 2015 saat meresmikan Masjid Raya Mujahidin Pontianak-Kalbar, Presiden RI Joko Widodo mengatakan bahwa Indonesia berada dalam status darurat narkoba.
Ada bahasa yang tegas dari Presiden: Tidak ada maaf bagi pelaku narkoba di negeri ini. Saya juga banyak tekanan dari sana dan sono. Tapi sekali lagi, kita memang berada pada posisi darurat narkoba (kompas.com/2015/01/20). Presiden tahu bahwa dampak negatif narkoba tidak hanya merasuk ke lingkungan anak-anak muda, tetapi juga institusi-institusi.
Baik sekali pernyataan Presiden tentang darurat narkoba itu. Namun sesuatu yang darurat mestinya diikuti oleh langkah darurat pula. Sebagaimana ditunjukkan oleh Duterte, sikap nasional sebuah negaralah yang menentukan ritme dan jenis serta efektivitas perang terhadap narkoba.
Sukar dibayangkan adanya wilayah bebas narkoba tanpa sebuah sikap nasional yang melampaui kewibawaan regulasi biasa. Langkah kedaruratan itu yang ditunggu dari Presiden dan hingga kini tidak pernah muncul.
Ada sebuah perbandingan. Presiden Filipina Rodrigo Duterte terus-menerus menegaskan pembelaannya atas kebijakan “pembunuhan” yang diambilnya dalam memberantas peredaran narkoba di negara yang dipimpinnya. Duterte menyebut bahwa ancaman pembunuhan yang ditindak-lanjuti dengan tindakan tegas dan terukur merupakan langkah yang sempurna.
Hingga tahun 2016 saja tercatat telah lebih dari 3.700 orang yang diduga terlibat dalam peredaran maupun penggunaan narkoba tewas dibunuh. Angka itu tercapai hanya dalam hitungan beberapa bulan sejak Duterte memimpin meski mantan Wali Kota Davao ini mendapat sorotan dan bahkan kecaman dari dunia internasional.
Sorotan dan kecaman setidaknya datang dari Amerika Serikat, Uni Eropa, Perserikatan Bangsa-bangsa, hingga lembaga internasional pembela hak asasi manusia. Duterte tak gentar dan bahkan semakin menjadi. Bandar yang menjadi target ratusan ribu menyerahkan diri. “Saya tak akan berhenti. Saya dapat pastikan itu. Saya tak akan berhenti sampai semua tuntas, sampai bandar narkoba terakhir di Filipina mati”.
Dalam sebuah rapat paripurna DPRD Provinsi Sumatera Utara, sebuah rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang dibahas. Perda itu diberi judul “Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba”.
Karena saya tidak percaya diri untuk banyak berharap akan efektivitasnya, maka saya lebih menganjurkan marilah kita sama-sama berdo’a kepada Allah SWT agar negeri ini dibimbing keluar dari marabahaya yang besar, termasuk teror narkoba.
Mengajukan usul kepada Presiden agar status darurat narkoba yang beliau deklarasikan diikuti dengan langkah-langkah kedaruratan yang tepat dan terukur untuk mengakhiri teror narkoba, rasanya bukanlah sebuah kelancangan.
Rasanya seluruh komponen bangsa menunggu sesuatu yang tak sebatas wacana. Saya tidak lupa memberitahu Anda bahwa Duterte sudah pernanh datang ke Indonesia dan berbicara kepada Presiden Joko Widodo.
Mengapa takut mengikuti langkah penyelamatan negara ala Duterte ya? (*)
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU