Jurnalis itu bertanya “Izin bang untuk menanggapi dua berita di bawah ini. Apakah kedua berita itu menandakan tensi politik di Medan sudah memanas?
Berita yang dimaksud oleh jurnalis itu ialah https://www.tagar.id/djarot-singgung-akhyar-merapat-ke-partai-demokrat dan https://www.tagar.id/demokrat-sumut-sebut-yang-haus-kekuasaan-itu-djarot.
Rivalitas dalam Kesejukan
Setelah membaca kedua berita tersebut di atas, saya amat berharap setiap elit politik, dari partai apa pun itu, yang berbicara tentang agenda nasional Pilkada Serentak 2020, tak terkecuali untuk Kota Medan, benar-benar berusaha menjadikan kesempatannya itu sebagai upaya edukasi dan penyejukan bathin bagi rakyat banyak.
Selain upaya edukasi dan penyejukan, inti pembicaraan politik para elit itu pun, jika bisa, seyogyanya memiliki nilai yang berhubungan dengan upaya memperkokoh persatuan di tengah fakta keterbelahan rakyat yang kelihatannya masih terus berlanjut.
Karena itu, tak hanya dalam pilihan diksi, pilihan isyu juga hendaknya benar-benar diperhitungkan agar dapat menyumbang kesejukan. Jangan sampai terjadi bahwa karena ambisi penguasaan politik daerah, elit politik kerap tak sadar menjadi lebih mengedepankan kepentingan partainya. Kemenangan tetaplah selalu penting, sepenting kekuasaan yang menjadi tujuan akhir capaian partai politik. Tetapi kemenangan yang memperkokoh persatuan alangkah indahnya.
Sebagaimana diketahui, bahwa akibat penderitaan covid-19 yang berkepanjangan, rakyat kita terus mengalami kemerosotan daya tahan. Secara psikologis beberapa bulan terakhir rakyat kita semakin sensitif sebagai dampak covid-19. Dalam keadaan seperti itu, apalagi dalam suasana rivalitas Pilkada, rakyat kemungkinan besar juga dapat mengalami penurunan daya kritisisme untuk membedakan mana fakta dan mana opini, mana black campaign dan mana negative campaign, mana hoaks dan mana yang bukan hoaks.
Hal lain yang terus diharapkan dari para elit politik dalam kaitan Pilkada Serentak 2020 ialah kemampuan mereka memilah isyu internal partai dan isyu umum. Isyu internal partai silakanlah diurus sendiri secara bijak. Jangan dipaksakan seolah mewarnai atmosfeer politik nasional. Saya kira memang etika politik juga mementingkan kemampuan memilah isu apa yang tepat menjadi pengisi wacana di ruang publik.
Defisit Demokrasi
Sebetulnya belakangan ini saya pribadi kurang dapat menikmati pemberitaan-pemberitaan media tentang pengerucutan dua nama (Bobby Nasution dan Akhyar Nasution) dalam pilkada Kota Medan 2020 karena beberapa alasan.
Pertama, Kota Besar sekelas Medan, suka atau tidak, rupanya “akan hanya terbentur” pada dua nama saja yang, faktanya, keduanya sama-sama bermarga Nasution. Selain sama-sama bermarga Nasution, suka atau tidak, keduanya pun sama-sama berasal dari satu partai, PDI Perjuangan.
Faktanya memang Akhyar Nasution adalah kader yang dibesarkan oleh PDI Perjuangan dan ikut membesarkan partai itu. Juga adalah fakta bahwa untuk proses pencalonan Pilkada Kota Medan 2020 ini Bobby Nasution pun diberitakan oleh media sudah mendaftar menjadi anggota PDI Perjuangan.
Ini jelas tidak menggambarkan kesehatan proses politik. Secara demografis dan sejarah politik, Kota Medan ini adalah miniatur Indonesia. Tetapi demokrasi seakan sudah berhenti di sini. Mandeg, dipadakan menjadi tak begitu indah. Gagal mengembangkan dirinya menjadi proses pembelajaran.
Mereka yang keberatan dengan pendapat saya tentu akan memberi tahu saya sesuatu yang sudah saya ketahui lama bahwa, sesungguhnya tidak ada regulasi yang memantangkan perebutan kekuasaan melalui pilkada di antara dua atau lebih dari maga yang sama (Nasution) dan dari satu partai (PDI Perjuangan) saja.
Kedua, menurut hitung-hitungan politik, jika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD) tidak membentuk sebuah koalisi yang menjagokan Akhyar Nasution di dalamnya, diperkirakan Pilkada Kota Medan 2020 akan mempertandingkan keperkasaan satu pasangan usungan PDI Perjuangan dengan kotak kosong.
Tentu orang di luar sana juga akan ada yang berkata bahwa semua biasa saja dan tidak ada ketentuan yang dilanggar, karena kontestasi satu pasangan dengan kotak kosong dalam pilkada adalah konstitusional.
Namun bagi saya, yang namanya Pilkada adalah sebuah proses seleksi. Hakekat seleksi itu sesungguhnya hak, kesempatan dan peluang untuk menentukan yang terbaik berdasarkan perbandingan di antara sejumlah pilihan.
Jadi dengan terbentuknya koalisi PKS dan PD yang berencana mengusung Akhyar Nasution, wajah demokrasi di Kota Medan sedikit banyaknya sudah terselamatkan juga. Dari segi itu saya pun ingin berucap terimakasih kepada Presiden PKS Sohibul Imam dan Ketum PD Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Akar Masalah
Legalframework (kerangka hukum) Pilkada kita buruk, jika bukan sangat buruk. Karena itu regulasi mengenai hal ini paling banyak mengalami revisi. Sayangnya revisi demi revisi kebanyakan hanya berkisar pada perubahan-perubahan semantik yang tidak substantif.
Cara mengukur buruknya legalfranework pilkada antara lain dengan mengajukan pertanyaan “di daerah mana rakyat beroleh kepuasan atas kinerja Walikota, Bupati dan Gubernur?”
Selain itu orang sekarang banyak yang berteriak “Saya Indonesia, Saya Pancasila”, tetapi tidak pernah menyadari seberapa besar pertentangan model pemilihan langsung eksekutif (Walikota, Bupati, Gubernur dan Presiden) dengan sila keempat Pancasila (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan).
Jangan lupa pada akhir masa jabatan Presiden SBY (2014) DPR pernah berhasil membuat revisi ketentuan pemilihan kepala daerah dari langsung kembali menjadi pemilihan di legislatif sesuai sila keempat Pancasila sebagaimana diterapkan selama Orde Baru.
Tetapi UU itu hanya berumur sekejap, karena SBY sendiri menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang membatalkan UU yang baru disahkan dan berbiaya mahal itu. Perppu itu segera disahkan menjadi Undang-Undang begitu Joko Widodo dilantik menjadi Presiden selepas pilpres 2014.
Hingga sejauh ini kebudayaan politik nasional yang terbentuk melalui pilkada adalah mekanisme politik yang bercirikan transaksi secara berjenjang dan bertahap. Kerawanan money bombing tak sekadar membuka jalan lebar bagi penguasa modal untuk menguasai pemerintahan dan sistem sumberdaya, tetapi juga sekaligus menjauhkan rakyat dari proses politik yang elegan. Resep money bombing umumnya terbukti sangat efektif di tegah rakyat yang ditimpa oleh kemiskinan struktural dan tingkat kesenjangan ekonomi yang parah.
Pemilihan langsung juga sangat mudah terjebak dengan populisme tak berperspektif. Hal itu bisa terjadi karena kadar literasi rata-rata pemilih yang masih rendah sehingga tak menolong terhadap peningkatan kualitas pilihan. (*)
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU