Kebijakan Mendikbud Nadiem Makarim tentang Program Organisasi Penggerak (POP) pendidikan adalah kebijakan yang tidak bijak dan tidak populis (merakyat). Mundurnya Muhammadiyah, NU, dan kemudian PGRI dari program tersebut menunjukkan adanya masalah besar dan mendasar.
Jelas hal ini menunjukkan bahwa Mendikbud tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang sejarah pendidikan nasional Indonesia dan peran organisasi-organisasi kemasyarakatan khususnya keagamaan dalam gerakan pendidikan nasional. Muhammadiyah dan NU, khususnya, adalah pelopor pendidikan di Indonesia. Mereka bersama yg lain adalah stake holders sejati pendidikan nasional. Sementara, yayasan atau foundation seperti Sampurna atau Tanoto hanyalah pendatang baru, yang setelah menikmati kekayaan Indonesia baru berbuat atau memberi sedikit untuk bangsa (dibandingkan dengan keuntungan yg mereka raup) dari Tanah dan Air Indonesia. Jadi kalau mereka yang dimenangkan/dilibatkan dalam POP sungguh merupakan ironi sekaligus tragedi.
Namun, kesalahan bukan pada Nadiem Makarim. Dia hanya seorang anak muda, yang mungkin karena lebih banyak berada di luar negeri maka tidak cukup memiliki pengetahuan dan penghayatan ttg masalah dalam negeri, dan hanya memiliki obsesi yang tidak menerpa di bumi.
Yang sangat bersalah dan patut dipersalahkan, serta harus bertanggung jawab, pada pendapat saya, adalah Presiden Jokowi sendiri. Dialah yg berkeputusan mengangkat seorang menteri, walaupun menyempal dari fatsun politik yang berlangsung dari waktu ke waktu. Atau, jangan-jangan Presiden Jokowi sendiri tidak cukup memahami sejarah kebangsaan Indonesia dan berani mengambil keputusan yg meninggalkan kelaziman politik. Paling tidak, terkesan Sang Presiden mengabaikan dua organisasi besar yang berjasa menegakkan kemerdekaan Indonesia.
Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Sebaiknya program itu dihentikan. Lebih baik Kemendikbud bekerja keras dan cerdas mengatasi masalah pendidikan generasi bangsa yg akibat pandemi Covid-19 telah, menurut seorang pakar pendidikan, menimbulkan the potential loss bahkan generation loss (hilangnya potensi dan hilangnya generasi).
Pemerintah tidak hadir melindungi rakyat. Pemerintah tidak tergerak membangun infrastruktur telekomunikasi dan teknologi pendidikan.
Pemerintah tidak pernah berpikir, umpamanya, membebaskan kuota internet sehingga anak-anak bangsa bisa belajar dalam jaringan atau jarak jauh. Kemendikbud “memaksakan” belajar daring atau jarak jauh tapi tidak menyiapkan infrastruktur untuk itu. Anggaran yg diklaim untuk penanggulangan Covid-19 tidak dialokasikan utk membantu anak-anak rakyat yg terpaksa belajar dari rumah dalam keterbatasan dan kekurangan.
Tapi sudah terlambat. Ketakhadiran dan ketakefektifan para pembantu Presiden bekerja serius dengan sense of crisis dalam situasi kritis bukan masalah pembantu, tapimasalah yg mengangkatnya. Akibatnya, beban masalah menumpuk di pundak seorang presiden, yang agaknya juga tidak mampu menahannya. (*)
M. Din Syamsuddin, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah