Oleh: Ariadi Adi Msi
Kontestasi Pemilihan Walikota-Wakil Walikota Medan Desember 2020 yang semula dikuatirkan bakal diikuti satu pasangan calon, kini hampir bisa dipastikan akan diikuti dua pasangan.
Akhyar Nasution kader PDIP bakal mendapat tiket bukan dari partainya melainkan dari PKS (7 kursi) dan Partai Demokrat (PD 4 kursi). Total 11 kursi telah melewati batas minimal 10 kursi sesuai persyaratan 20% dari 50 kursi DPRD Medan.
Sisa 39 kursi berasal dari PDIP 10, Gerindra 10, PAN 6, Nasdem 4, Golkar 4, PSI 2, Hanura 2 dan PPP 1 bakal disapu bersih Bobby.
Sinyal kuat elit ke-8 partai di tingkat pusat itu seluruhnya memberikan “restu” bagi Bobby. Maklum saja ke-8 partai itu masuk koalisi pendukung pemerintah. Menantu Presiden Jokowi ini nyaris mendapatkan “jalan tol” sebagai calon tunggal andai saja PKS atau PD ikut “terpesona” dengan label calon wali kota dari lingkaran keluarga istana.
Dengan fakta di atas maka kekuatan Akhyar vs Bobby dipetakan 2 partai melawan 8 partai, atau 11 kursi melawan 39 kursi. Atau jika dipersentasekan Akhyar 22% Bobby 78%.
Bila lumbung suara nantinya dihitung dari perolehan suara partai maka di atas kertas Bobby akan dengan mudah memenangkan Pilkada Medan.
Namun, pemilihan kepala daerah pada kenyataannya tidak beriringan hasilnya dengan perolehan suara legislatif partai pendukung.
Soalnya pemilihan kepala daerah akan sangat tergantung personal calon.
Dalam berbagai peristiwa pemilihan Kepala Daerah pada Pilkada sebelumnya, tidak jarang pasangan calon yang mendapat dukungan kursi partai sedikit atau minimal, justru memenangkan kontestasi. Personal calon akan menjadi penentu rakyat akan memilihnya atau tidak.
Dalam hal ini maka rekam jejak akan menjadi sangat penting. Personaliti Akhyar akan menampilkan dirinya seorang nasionalis, hidup sederhana, pekerja keras, tegas dan jujur. Karir politiknya dimulai dari Kader PDIP dari tingkatan bawah, pengurus kecamatan hingga menjadi anggota dewan, staf ahli DPRD Sumut, wakil wali kota hingga saat ini Plt wali kota. Kiprahnya itu membuat Akhyar dianggap calon yang berpengalaman atau sudah teruji.
Sedangkan personaliti Bobby di mata publik yang menonjol adalah suami dari Kahiyang putri Presiden Jokowi yang berarti menantu orang nomor 1 Indonesia. Usia Bobby yang masih 28 tahun dikategorikan sebagai calon millenial. Kaum muda sebagian akan memilihnya karena sebutan millenial.
Namun rekam jejak Bobby di Kota Medan nyaris tak terdeteksi alias belum teruji. Praktis Bobby berharap besar memperoleh kemenangan dengan mengandalkan nama besar Jokowi.
Sesuatu yang masuk akal. Nama besar sebagai orang nomor 1 Indonesia berpotensi bisa mendongkrak suara Bobby. Buktinya nyaris seluruh partai mendukung Bobby dan itu dipastikan karena faktor Jokowi.
Lantas coba mari kita berkalkulasi apakah faktor Jokowi betul bakal mendongkrak suara Bobby?
Jokowi memenangkan dua kali pemilihan presiden di 2014 dan 2019, baik secara nasional maupun tingkat propinsi. Namun kemenangan Jokowi itu tidak terjadi di tingkat Kota Medan. Artinya Jokowi kalah dari Prabowo di Kota Medan .
Di pilpres pertama 2014, Jokowi kalah dengan selisih suara 40 ribuan. Saat itu Jokowi meraih 486.395 dan Prabowo 530.243. Jokowi unggul di 9 kecamatan sedangkan Prabowo unggul di 12 kecamatan.
Sedangkan di Pilpres kedua 2019, Jokowi yang berstatus petahana dan didukung mayoritas partai secara nasional dan tingkat Sumut semakin unggul jauh dibanding Prabowo.
Namun lagi-lagi hal itu tak berlaku di Kota Medan . Selisih kekalahan Jokowi justru lebih besar menjadi sekitar 100 ribu lebih. Jokowi mendapat 542.221, sedangkan Prabowo 645.209. Jokowi hanya unggul di 7 kecamatan sedangkan Prabowo 14 kecamatan.
Begitu juga jika kita mengacu kepada hasil Pilgubsu 2018 antara Djoss melawan Eramas, stigma kekalahan calon dukungan Jokowi di Kota Medan terlihat jelas. Kala itu Djoss kalah telak 190 ribu suara lebih. Djoss meraih 357.377 suara dan Eramas 551.641. Djoss hanya unggul di 4 kecamatan sedangkan Eramas di 17 kecamatan.
Pengamat Sosial Politik yang juga dosen Fisipol UMSU Shohibul Anshor Siregar dalam perbincangan dengan penulis menyebut stigma menolak calon dukungan Jokowi di pemilihan Kepala Daerah di Kota Medan akan kembali muncul jika menantunya ikut bersaing di Pilkada Medan. Kekalahan Jokowi dan calon Kepala Daerah yang didukungnya di Kota Medan adalah sebuah fakta.
Akankah sejarah itu akan berulang terjadi? Tampaknya bisa saja kembali terulang bahkan dengan selisih suara lebih besar ketika Bobby diperhadapkan dengan Akhyar Nasution. Apalagi faktor “titipan” istana yang tak bisa ditolak elit partai diperhitungkan akan memunculkan ketidaksolidan diakar rumput dan mendatangkan simpati/dukungan terhadap Akhyar karena didzalimi oleh elit partainya yang lebih memprioritaskan dan memberikan rekomendasi ke Bobby menantu Jokowi dari pada Akhyar kader tulen PDIP.
Dari beberapa fakta bahwa faktor psikologis (psikologis massa) “orang didzolimi ” ini efektif mendatangkan simpati dan dukungan. Khususnya diinternal PDIP sendiri saja dengan nantinya resmi mengusung Bobby para kader tak akan solid.
“Saya selaku salah seorang Ketua PAC akan tetap mendukung dan memenangkan Akhyar. Saya kira minimal 60% pemilih PDIP itu akan memilih Akhyar. Sebab kami taunya yang kader tulen PDIP itu Akhyar Nasution. Sementara Bobby itu bukan kader tetapi titipan,” tegas Gumana Lubis.
Suasana kebatinan yang nyaris sama tampaknya terjadi di partai lainnya. Gerindra dengan perolehan suara terbesar kedua hasil Pileg 2019 juga tak akan solid mendukung Bobby. Kader partai besutan Prabowo ini akan tak ikhlas melihat tokoh muda berkharisma Ihwan Ritonga yang semula sempat mempersiapkan diri maju harus kandas oleh titipan istana .
Apalagi peluang Ihwan cukup besar memenangkan kontestasi Pilkada dengan modal raihan suara caleg paling terbesar di pileg lalu. Publik pun sempat mengetahui informasi penolakan Ihwan Ritonga ketika diminta menjadi wakilnya Bobby. “Penolakan” Ihwan Ritonga ini ditangkap publik sebagai bentuk ketidak setujuannya terhadap calon titipan yang masih sangat “hijau” itu.
Suasana kebathinan yang nyaris sama sesungguhnya juga terjadi di partai lainnya. Apalagi fenomena yang muncul adalah semua partai pro pemerintah diberi peluang hanya untuk memunculkan nama kadernya untuk posisi wakil Bobby.
Padahal normatifnya di setiap kontestasi 5 tahunan maka masing-masing partai akan “mengelus-elus” kadernya sebagai jagoan yang dimunculkan calon KDh .
Di sisi lain kemunculan bersama putra dan menantu Presiden Jokowi, Gibran calon wali kota Solo dan Bobby calon wali kota Medan memunculkan persepsi negatif di publik kaitannya membangun dinasti politik yang dapat menggerus demokrasi walaupun hal ini tidak melanggar regulasi.
Politik dinasti, oligarkhi kekuasaan , haus kekuasaan , intervensi istana dan ungkapan lain bermunculan sebagai bentuk resistensi .
Dan resistensi itu memunculkan dukungan alamiah kepada Akhyar Nasution. Koalisi lintas profesi, paguyuban/komunitas, etnis, agama dan lainnya bermunculan menyatakan dukungan kepada Akhyar. Tabik! . (*)