TAJDID.ID-Medan || Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) 2003-2008 Jimly Asshiddiqie menegaskan, Pasal penghinaan Presiden dalam KUHP sudah berganti jadi delik aduan sebagai bukti bahwa secara pribadi yang bersangkutan memang merasa terhina.
Berita terkait: Kritisi Maklumat Kapolri, YLBHI: MK Sudah Cabut Pasal Penghinaan Presiden
Penegasan itu dilontarkan Jimly lewat cuitan di akun twitternya (@JimlyAs ) yang diposting, Selasa (7/4) saat mengomentari berita kompas.com yang berjudul “Amnesty: Pidana bagi Penghina Jokowi Picu Pelanggaran Kebebasan Berpendapat”.
Menurut Jimly, penegasan ini penting agar petugas tidak menafsir sendiri dengan sikap dan budaya ABS (Asal Bapak Senag-red) yang merusak demokrasi.
“Jangan cuma mau nikmatnya jabatan dan demokrasi, tapi tolak beban yang mesti di tanggung di dalamnya,” tulis Jimly.

Diketahui, Pasal penghinaan terhadap presiden yang tertuang dalam 134, 136 bis, dan 137 KUHP dinilai tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Aturan ini dibuat pada masa penjajahan Belanda, untuk mempertahankan harga diri Ratu Belanda.
Selain itu, untuk menghindari ketidakpastian mendapatkan informasi, pasal penghinaan ini dicabut Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (6/12/2006).
Pada saat itu, Ketua Majelis Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menyatakan bahwa permohonan Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis dikabulkan seluruhnya.
“Keputusan diambil setelah menimbang dari 2 ahli hukum yaitu Mardjono Reksodiputro dan JE Sahetapy, pasal-pasal itu tidak perlu diberlakukan lagi. Landasan KUHP itu adalah zaman Belanda, dan pasal itu merupakan delik aduan,” ujar Jimly saat membacakan putusan di Ruang Sidang MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (6/12/2006).
MK menilai pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 huruf f tentang kebebasan menyatakan pendapat, dan menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi.(*)