TAJDID.ID-Medan ||Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritisi Surat Telegram Tentang Maklumat Kapolri Jenderal Idham Aziz Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tertanggal 4 April 2020, khususnya mengenai penghina presiden selama Pandemi Covid-19.
Ketua YLBH Asfinawati menegaskan, bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabut pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006.
“Penghinaan presiden lagi, sudah dinyatakan tidak mengikat pasalnya oleh MK,” ujar Asfinawati, dikutip dari sindonews, Senin (6/4/2020).
Asfinawati juga mengkritisi salah satu jenis kejahatan dalam surat telegram Kapolri itu, yakni mengenai penyebaran hoaks terkait Covid-19. Menurut dia, kalau mau adil pejabat pemerintah yang menyebut virus corona bisa mati kena sinar matahari bisa dijerat Polri dengan surat telegram Kapolri tersebut.
“Yang harus kena pertama ya pejabat, yang bilang hilang kena panas, yang obat sudah ditemukan padahal ada cap hoaks oleh kementerian yang terpaksa dicabut setelah presiden bicara obat ditemukan. Menkes bilang bisa hilang sendiri penyakit itu. Itu kan hoaks semua,” ungkapnya.
Seperti diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan tidak benar jika virus corona akan hilang saat terkena sinar matahari. Kominfo pun memberikan cap disinformasi.
Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan pernah mengungkapkan, virus Corona tidak akan tahan panas dan lembab. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pernah mengungkapkan penularan virus corona bisa dicegah di antaranya dengan sinar ultraviolet matahari.
Diketahui, Pasal penghinaan terhadap presiden yang tertuang dalam 134, 136 bis, dan 137 KUHP dinilai tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Aturan ini dibuat pada masa penjajahan Belanda, untuk mempertahankan harga diri Ratu Belanda.
Selain itu, untuk menghindari ketidakpastian mendapatkan informasi, pasal penghinaan ini dicabut Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam amar putusannya,
Pada saat itu, Ketua Majelis Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menyatakan bahwa permohonan Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis dikabulkan seluruhnya.
“Keputusan diambil setelah menimbang dari 2 ahli hukum yaitu Mardjono Reksodiputro dan JE Sahetapy, pasal-pasal itu tidak perlu diberlakukan lagi. Landasan KUHP itu adalah zaman Belanda, dan pasal itu merupakan delik aduan,” ujar Jimly saat membacakan putusan di Ruang Sidang MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (6/12/2006).
MK menilai pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 huruf f tentang kebebasan menyatakan pendapat, dan menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. (*)