Jika ada demokrasi di dunia ini yang menghasilkan otoritas, kelembagaan dan rezim yang tidak memiliki ketercerminan nilai dan populasi, sangat kuat dugaan bahwa jenis demokrasi yang diterapkan itu adalah demokrasi yang sangat bermasalah. Bahkan bisa menjadi demokrasi formal yang secara substantif justru menentang nilai dan prinsip demokrasi.
Demokrasi itu nilai mayoritasisme yang tak selalu mudah difahami oleh orang-orang dalam budaya permusuhan apalagi dalam kecenderungan menindas karena latar belakang sejarah yang panjang dan perbedaan antagonistik terutama karena perbedaan agama dalam iklim penjajahan itu.
Jenis demokrasi ini memang kerap ditemukan di negara-negara bekas jajahan yang meski negara itu secara resmi telah lama merdeka, namun cengkeraman kepenjajahan tidak mudah dilenyapkan.
Jika demokrasi kerap dislogankan dengan oleh rakyat dan untuk rakyat atau juga “apa yang kita mau”, maka pengalaman berdemokrasi yang sering mengingkari substansi nilai demokrasi itu sendiri sesungguhnya adalah bencana.
Demokrasi dan model elektoral seperti apa pun yang disahkan tidak mungkin mengabaikan aspirasi mayoritas, karena demokrasi itu memang adalah cara peradaban moderen mengekspresikan prinsip nilai mayoritasisme yang memiliki cara sendiri untuk melindungi minoritas.
Sekaitan dengan hasil pemilihan umum serentak tahun 2019 dan pada gilirannya telah tiba pada penyusunan kabinet, sangat diperlukan kehati-hatian untuk menjaga keseimbangan dan kestabilan bangsa.
Mayoritas tidak boleh sampai merasa dirinya diwakili, dipimpin dan diperintah oleh orang yang bukan bagian dari diri mereka. Alineasi seperti ini sangat berbahaya, karena orang merasa hak-haknya dirampas. (*)
Dosen FISIP UMSU (Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara