Realitas Umat Islam pasca runtuhnya Turki Usmani berdampak universal terhadap kemunduran Islam di seluruh belahan dunia secara bertahap. Padahal Islam pernah menguasai 2/3 dunia hampir selama 13 abad, tapi melihat kondisi sekarang semua berubah hampir 360 derajat. Situasi tersebut tentu tidak menguntungkan dan menyudutkan Islam setelah mampu di kuasai oleh hegemoni barat. Imperialisme, adalah salah satu sistem yang digunakan barat untuk dapat menguasai negara dengan berbagai caranya.
Makna hakiki imperialisme adalah eksploitasi aset berharga milik pihak yang dikuasai baik secara politik, ekonomi, maupun budaya. Lenin menyebut: “Imperalisme was the highest from of capitalism” (Imperialisme adalah bentuk kapitalisme tertinggi). Imperialisme adalah kata yang jarang sekali di dengungkan di hadapan publik karena dianggap tidak relevansi dan cenderung berkonotasi buruk untuk disampaikan dihadapan publik padahal pemaknaan nya tetap sama. Presiden RI pertama Soekarno sendiri saat berpidato di hadapan PBB menyampaikan membenci dan menolak keras setiap upaya imperialisme dan kolonialisme.
Perkembangan yang hari ini sedang kita hadapi adalah bentuk dari “penjajahan” yang di kemas modern yang sejati nya adalah upaya imperialisme. Belakangan ini kita dihadapkan dengan istilah Revolusi Industri 4.0, apa sebenarnya Revolusi industri 4.0 itu. Revolusi industri generasi keempat ini ditandai dengan kemunculan superkomputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi, editing genetik dan perkembangan neuroteknologi yang memungkinkan manusia untuk lebih mengoptimalkan fungsi otak. Hal inilah yang disampaikan oleh Klaus Schwab, Founder dan Executive Chairman of the World Economic Forum dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution.
Melihat konteks kekinian, terutama era digital, saya mencoba memperluas makna imperialisme, tak hanya menyangkut negara menguasai negara; tapi juga korporasi menguasai korporasi; atau korporasi menguasai individu. Esensinya tetap sama yaitu hegemoni, superioritas, dominasi, dan pemaksaan pengaruh satu pihak ke pihak lain.
Mengacu pada pengertian baru ini saya membagi imperialisme modern ke dalam tiga gelombang besar.Imperialisme 1.0 adalah penguasaan oleh negara-negara penjajah (imperialnations) terhadap tanah-tanah baru di Asia, Afrika, hingga Amerika Latin.
Imperialisme 2.0 adalah penguasaan oleh korporasi-korporasi digital raksasa terhadap internet yang kemudian diikuti pencaplokkan terhadap perusahaan lain di seluruh dunia.
Imperialisme 3.0 adalah penguasaan oleh negara, korporasi (seperti Cambridge Analytica dan Facebook), atau individu terhadap seluruh umat manusia melalui penguasaan data privat yang sangat besar yang kini kita kenal dengan big data.
Sebuah ironi yang seharusnya tidak terjadi, bahwa era revolusi industri 4.0 muncul di tengah permasalahan ketenagakerjaan seperti banyaknya pengangguran dan tingkat kesejahteraan manusia yang jauh dari standar layak. Betapa tenaga kerja manusia akan dihargai murah bahkan tidak dibutuhkan lagi dan mengancam eksistensi manusia.
Fenomena di atas merupakan kemajuan teknologi yang tidak bisa di bendung, namun dalam konteks ini kita harus mampu menganilisis sejauh mana perkembangan tersebut bermanfaat dan mudharat nya bagi umat manusia. Sebagai kaum intelektual dibutuhkan nalar kritis melihat fenomena di atas. Imperialisme yang dilakukan barat terhadap negara-negara di dunia sejati nya terus menerus dilakukan dengan menanamkan dan mereduksi pengaruh lewat teknologi yg sedang dibangunnya.
Warisan nilai-nilai Islam klasik sudah mulai tergerus dengan adanya percepatan teknologi dan memaksa kita untuk mengikuti percepatan tersebut. Penyematan status intelektual yang disematkan kepada kita harus mampu menganilisis problem ini dengan kajian wawasan epistemologis dan aksiologis. Pemikiran yang fundamental harus dilakukan dalam menjawab kecemasan ini. Ada beberapa penawaran langkah yang bisa dilakukan:
Pertama, langkah dekonstruksi. Langkah dekonstruksi ini dilakukan dengan menjelaskan aspek isinya, metodologi, dan juga penjelasan terhadap konteks sosio-historis yang melatar- belakangi kelahirannya, serta perkembangannya saat ini. Kemudian, memberikan penilaian atas kelebihan dan kekurangannya juga bagaimana fungsinya di masa sekarang.
Kedua, langkah rekonstruksi. Langkah ini dilakukan dengan cara mentransfer teori-teori lama yang masih dapat dipertahankan seperti rasionalisme ke dalam perspektif baru yang didasarkan pada perkembangan realitas kontemporer. Teori-teori tersebut selanjutnya dibangun menjadi sebuah ilmu yang berorientasi kepada kema- nusiaan.
Ketiga, langkah pengintegrasian. Langkah–langkah pengintegrasian ilmu-ilmu atau pemikiran klasik dan merubahnya menjadi ilmu kemanusiaan baru.
Semoga ini bisa menjadi kajian lebih mendalam sebagai bentuk eksistensi dan rasa syukur atas anugerah Allah terhadap nalar kritis kita yang terus berkembang. (*)
Penulis adalah Aktivis IMM Sumatera Utara