Kim Hyung-Jun, Profesor Antropologi Budaya dari Universitas Nasional Kangwon, Korea, dalam tulisannya berjudul Rahasia Satu Abad Muhammadiyah yang dimuat pada Harian Kompas 5 Juli 2010 banyak bercerita tentang demokrasi ala Muhammadiyah. Berbekal temuan fakta demokrasi dalam organisasi yang didirikan oleh KH A Dahlan ini Kim dengan tegas menegakkan sebuah negasi atas pandangan orang asing pada umumnya, bahwa Indonesia adalah negara yang kurang demokratis. Ia tidak mau menerima kesimpulan simplistis bahwa nilai-nilai masyarakat Indonesia tidak identik dengan demokrasi mengingat kekuasaan Soeharto yang tertutup dan sentralistik masih saja diteruskan meski rezim sudah silih berganti.
Memang begitu sulit membantah fakta buruknya praktik demokrasi di Indonesia sebagaimana juga diakui oleh Kim. Dengan berbagai modus dan kedalamannya, demokrasi Indonesia hanyalah perhelatan politik dan nilai yang tak jauh-jauh dari transaksi uang, korupsi, kolusi, penyelewengan oleh pemimpin pemerintahan dan kurang adanya sistem yang merepresentasikan aspirasi rakyat (meski pemilu wajib diselenggaran dengan biaya besar 5 tahun sekali). Semuanya hanya memperkuat stempel demokrasi prosedural. Demokrasi substantif dalam praktik (riil) masih jauh dari harapan.
Mitsuo Nakamura.
Kim menentukan pilihannya terhadap Muhammadiyah sebagai subjek penelitian dengan sejumlah pertanyaan kritis. Di bawah permukaan ia temukan peran penting pandangan egalitarianisme dan policy otonomi yang mengunci demokrasi unik ala Muhammadiyah. Kini dengan penuh keyakinan ia berkata: “Seandainya saya memilih organisasi keagamaan lain sebagai obyek penelitian, citra buruk tentang demokrasi Indonesia belum berubah”.
Apa yang menarik dari pernyataan Kim ialah bahwa demokrasi itu memang sebuah kelangkaan di Indonesia, dan dalam interaksi politik yang membahana menjadi begitu sulit memilah pemeran dalam proses politik yang amat destruktif ini, apakah negara atau kelompok-kelompok sosial yang ada. Demokrasi sebagai salah satu ajaran hegemonik yang berhimpitan dengan gejala modernisasi di seluruh dunia lebih membimbing jawaban bahwa negara telah melakukan kesalahan besar dalam proses pembelajaran demokrasi Indonesia.
Hampir 3 dasawarsa yang lalu Mitsuo Nakamura, juga seorang Antropolog (Ciba University, Tokyo, Jepang) juga mengungkapkan hal serupa tanpa keraguan sedikitpun. Perbedaannya, Mitsuo Nakamura, meski tentu amat tahu, tidak berusaha memperbandingkan secara tegas apa yang ditemukannya pada Muhammadiyah dengan temuan demokrasi pada organisasi lain. Lebih jauh doktor dengan disertasi Bulan Sabit Terbit di Balik Pohon Beringin ini dengan tegas menyebut bahwa demokrasi dalam Muhammadiyah itu dijalankan sesuai dengan teori yang pernah ada di permukaan bumi ini dan terutama dari pemahaman yang mereka derivasi dari sumber utama ajaran Islam: al-Quran dan al-Hadits yang shahih.
Memang dengan demokrasi semacam itu kelihatannya gerak Muhammadiyah menjadi begitu lamban dan mungkin terkesan tidak efisien. Ini yang biasanya membuat komponen muda dalam Muhammadiyah, terutama dari kalangan mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sering dengan tak sabar merasa perlu melakukan “pemberontakan”.
Tetapi Nakamura merasa yakin bahwa model demokrasi yang unik itu bukanlah suatu pilihan tanpa hitung-hitungan benefit (keuntungan atau kemanfaatan) terhadap masa depan jangka panjang Muhammadiyah. Ia memang akhirnya merasa yakin bahwa Muhammadiyah akan besar selamanya dengan penghayatan dan praktik demokrasi yang unik ini sebagai salah satu di antara sekian banyak jaminan, sambil menolak pandangan kritis (waktu itu) yang melukiskan ketertinggalan Muhammadiyah.
Egalitarianisme versus Otonomi.
Kim dan Nakamura mungkin tidak punya cukup waktu menyelami kemajuan dan saling pertentangan 2 kata kunci yang dianggap resep keberhasilan demokrasi ala Muhammadiyah (egalitarianisme dan otonomi). Selain itu semua ide demokrasi dalam keputusan resmi Muhammadiyah dapat sangat berbeda ketika diterapkan di daerah dan di sudut-sudut lain dari keluasan Muhammadiyah. Paradoks lokal memuat secara laten dan manifest konflik antara egalitariansme dan otonomi pada wilayah yang luas, bahkan saling menghancurkan satu sama lain yang akhirnya merusak sistem secara keseluruhan. Sebuah contoh berikut ingin melukiskannya.
Djazman Al-Kindi, pendiri IMM yang pada peralihan dasawarsa 80-an pernah menjabat Ketua PP Muhammadiyah Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan yang sesuai dengan nama jabatannya bertanggung jawab mengembangkan pendidikan tinggi berikut kajian untuk maslahat Muhammadiyah ke depan. Jika melihat fakta sejarah, masa-masa itu adalah awal pertumbuhan perguruan tinggi Muhammadiyah (hampir di seluruh provinsi di Indonesia) sebagai sebuah amal usaha yang amat produktif. Harus diakui bahwa suntikan dana dari pemerintah cukup besar dalam proses ini, seiring kebijakan sebelumnya tentang NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Ada faktor ketidak-siapan yang mengakibatkan sering terjadi konflik di antara sesama pengurus di daerah, yang intinya berkisar pada pertanyaan “siapa mau dapat apa dan dengan cara apa”. Konsolidasi sedikit mendapat kesulitan terutama karena aspek-aspek manejerial terutama terkait dengan qaedah yang mengatur hubungan antar komponen pengurus, pertanggung-jawaban, karir dan penggajian masih belum sempurna.
Dari perguruan tinggi yang berubah menjadi lahan bisnis baru itu (sambil menjauh dari missi utama dakwah) sering muncul fenomena raja-raja kecil yang oleh almarhum Affan Gafar (Guru Besar ilmu Politik UGM) ditandai menjadi semacam fakta yang memperkuat kesimpulannya (disampaikan menjelang Muktamar penghujung Orde Baru di Aceh) tentang adanya 2 kategori aktivis Muhammadiyah. Kategori pertama orang yang terus-menerus memperbarui tekadnya untuk mengikuti nasehat pendiri; “Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di dalamnya”. Kategori kedua orang yang terus-menerus melawan nasehat pendiri sambil memperkaya diri dengan jalan baik ataupun buruk.
Anehnya, Muhammadiyah yang sering menjadi korban “pencurian” oleh orang-orangnya sendiri itu (atas nama otonomi) tidak pernah mengajukan pelaku ke pengadilan sehingga hukum pidana (kurungan) yang tidak pernah menjadi pilihan itu tidak pernah membuat orang menjadi jera. Ketika orang yang bersalah tetap dianggap sebagai raja, maka egalitarianisme sudah terbuang ke tong sampah. Saat itu pula kepribadian (katakanlah platform) Muhammadiyah sudah terkubur.
Tetapi begitu pun, Muhammadiyah tetap saja tak pernah berhenti. Catatlah sebuah paradoks ketika Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Ma’arif (yang digantikan oleh Dien Syamsuddin) menandatangani semacam deklarasi anti KKN bersama Ketua PB NU KH Hasyim Muzadi, sementara banyak amal usahanya menjadi lahan kolutif dan nepotistik yang menjauh dari ranah dakwah.
Penutup.
Bahwa kesan permukaan yang dikemukakan Kim dan Nakamura adalah sebuah kebenaran faktual. Tetapi di bawah permukaan, dan semakin ke pelosok, demokrasi itu semakin difahami berbeda dan bahkan dilawan. Bukan cuma dalam pengelolaan amal usahanya Muhammadiyah itu terkesan kewalahan mengurusi hal-hal bersifat praksis demokrasi, namun fakta penyimpangan yang serius juga ditemukan dalam bidang rekrutmen kepemimpinan lokal. Apa yang salah dengan tesis Kim dan Nakamura?
Dalam praktik demokrasi Muhammadiyah terbukti egalitarianisme dapat dikalahkan oleh otonomi. Munculnya raja-raja kecil (lokal) di Muhammadiyah kurang lebih adalah hasil otonomi yang sukar dibantah. (*)
Sumber: nbasis.wordpress.com
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU dan Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut.