Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Orang kerap berteriak “suara rakyat suara tuhan”. Begitu kan? Terkhusus untuk Pilkada Serentak Tahun 2020, menyemangati bakal calon yang berencana akan maju melalui jalur perseorangan, sering pula orang meneriakkan slogan “Suara Calon Independen Juga Suara Tuhan”. Lalu Tuhan yang mana gerangan yang dimaksudkan itu?
Ada sejumlah masalah di sini dilihat dari sejarah dan filosopi politik. Tuhan ada (let say) di ketinggian yang jauh. DIANYA memerlukan khalifatun fil ardh, itulah manusia. Bukan malaikat dan juga bukan setan. Tuhan perlu menjamin kehendakNya berjalan di muka bumi, sehingga orang-orang terpilih perlu bekerja keras atas nama Tuhan.
Tetapi di sekitar ketuhanan ini ada beberapa problem serius. Pertama, seburuk demokrasi Indonesia transaksional inikah wajah dan kehadiran tuhan di Indonesia? Jadi kita hanya tahu menghafal slogan, namun tak berjuang membawa Tuhan melalui firmannya di permukaan bumi.
Kedua, kini ada 6 agama resmi di Indonesia setelah masuknya Kong Hu Chu. Semuanya bertuhan. Terdengarkan suara kecemburuan Kejawen, Malim dan agama-agama non-negara itu saat KongHu Chu ditambahkan sebagai agama ke 6 di Indonesia? Padahal Malim itu misalnya, adalah agama para ksatria Toba yang di tengah jepitan dua raksasa dunia waktu itu terus berjuang hit and run selama 30 tahun berusaha ikut memerdekakan Indonesia.
Itulah sebab pahlawan Malim sukar ditemukam makamnya karena mereka gerilyawan yang memilih lebih baik mati di hutan ketimbang kompromi dengan penjajah. Sutradara-sutrara filem kita masih enggan memilimkan kisah-kisah ksatria seperti ini, padahal 1000 kali lebih heroik dan massif dari Timoer Pane yang dijudulkan dalam filem “Naga Bonar”.
Nah, meski kita berpancasila, dengan begitu di Indonesia ada 6 personifikasi Tuhan itu, pertandingan interpretasi atas konsep Tuhan terus berlangsung. Itu tak aneh sama sekali. Bahkan yang tak mengakui keberadaan tuhanpun pasti berpopulasi meningkat. Jawablah, suara Tuhan yang manalah yang akan didengarkan saat ini?
Kita bicara seperti ini akan dituduh SARA pula oleh orang awam. Tetapi suara Tuhan di Jerman adalah Jesus Kristus dan disain politiknya memang dominan ajaran Kristen. Donald Trump bilang “We can make America great again”, tetapi dengan semangat kolektivisme populis khas Amerika ia pun sebetulnya mendeklarasikan “We can make America Christian again”. Bukankah setiap pilpres Amerika itu selalu dibayangi ketakutan manakala akan dituduh oleh rakyat atas adanya kandidat yang “kurang Kristen” dan karena itu tak jarang pidato kampanye dirancang dari mimbar gereja? Itulah alasan mengapa Amerika itu selalu berteriak “my faith is my vote” atau “my vote is my faith” setiap pemilu.
Tetapi untuk Indonesia hal seperti itu dinista sebagai politik SARA dan lebih halus disebut politik identitas. Anehlah di dalam dunia mengerut masih saja pikiran tak terbuka.
Ketiga, Tuhan yang manalah yang dimaksud dalam ungkapan “Suara untuk calon independenpun adalah suara Tuhan” sebab di Indonesia, dengan pikiran dominan untuk kehidupan politik nasional, bahkan tak boleh hadir karena Tuhan lewat ekspresi pencalonan independen hanya ada untuk daerah, dilarang untuk pilpres. Suara rakyat (bukan lagi) suara tuhan. Begitulah. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Sumatera Utara.