Pelbagai persoalan yang mendera bangsa akhir-akhir ini kiranya membutuhkan sosok yang mampu memberikan sumbangsih pemikiran yang solutif. Sosok pemikir itu tidak lain adalah mereka yang selama ini disebut-sebut sebagai komunitas terdidik, yakni kaum intelektual.
Sungguh banyak kaum intelektual bangsa ini, namun sangat sedikit peran dalam memecahkan masalah. Intelektual hari ini sebagian besar sibuk di balik meja tanpa mau terlibat dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Sangat sedikit yang punya empati terhadap permasalahan rakyat kecil, dan miskin.
Lantas, siapa sebenarnya para intelektual itu?
Menurut Coser (1965), intelektual adalah orang-orang berilmu yang tidak pernah merasa puas menerima kenyataan sebagaimana adanya. Mereka selalu berpikir soal alternatif terbaik dari segala hal yang oleh masyarakat sudah dianggap baik.
Ini dipertegas Shils (1972) yang memandang kaum intelektual selalu mencari kebenaran yang batasannya tidak berujung. Galibnya, secara formal yang dimaksud dengan kaum intelektual itu adalah mereka yang kesehariannya bergelut dalam dunia akademik di Perguruan Tinggi. Mereka bisa berstatus sebagai mahasiswa, dosen, sarjana maupun sarjana.
Jika diklasifikasikan dalam struktur masyarakat, maka kaum intelektual itu bisa masuk dalam kelas menengah. Sebagai golongan kelas menengah tentunya kaum intelektual diharapkan kontribusi pemikiran dan aksi nyatanya untuk melakukan perubahan sosial (transformasi) di tengah masyarakat.
Namun ironisnya, sekarang kondisi kelas menengah sepertinya sedang tidak bergairah dalam menghadapi realitas sosial. Bahkan sebagian besar kelas menengah (baca: intelektual) disinyalir justru kemudian lebih memilih posisi apatis, yakni mengambil jarak dengan realitas sosial.
Bila dicermati, yang penyebab kondisi ini adalah: Pertama, kelas menengah sudah merasa mapan sehingga untuk mengurusi yang lain tidak mungkin lagi.
Kedua, kelas menengah dibelenggu oleh sistem. Belenggu ini bisa bersifat ideologis, bisa bersifat stuktural. Kondisi intelektual berada dalam posisi dilematis, mencerminkan adanya kesibukan di ruang-ruang kuliah dan laboratorium, yang akhirnya melahirkan intelektual penunggu “menara gading”. (Bersambung)