Jika Indonesia merasa rujuk tak boleh bermakna powersharing, maka jalan besar untuk pembangunan oposisi sangat mulus. Proposal yang ditegaskan pada bagian pertama tulisan ini ialah powersharing dengan menunjuk Prabowo Subianto menjadi Menteri Besar, atau apa pun namanya, yang membawahkan para Menteri Koordinator (Menko) dalam pemerintahan Jokowi-Ma’aruf. Kemudian semua partai yang lolos parliamentary threshold beroleh jatah menteri sesuai proporsi suara pemilu 2019.
Pada bagian pertama tulisan ini juga telah dikemukakan pentingnya oposisi memulai perjuangan membuat UU alokasi anggaran untuk partai Rp 1 Triliun setiap tahun agar tak lagi takut berada di luar pemerintahan. Hanya itu jalan untuk menjadi oposisi yang nalar dan efektif. Oposisi bisa sekaligus menyelamatkan Indonesia dari tuduhan tentang mekanisme powersharing yang tak lebih dari pelampiasan keinginan untuk mencuri uang negara.
Oposisi juga sudah harus memulai simulasi perlawanan di legislatif dan di lapangan jika ada yang memulai teriakan amandemen ke 5 UUD 1945 untuk menampung agenda politik agar seorang presiden di Indonesia boleh berkuasa seumur hidup. Pengalaman Indonesia semasa Orde Lama dan Orde Baru adalah kesahihan sejarah, dan apa yang dilakukan oleh Vladimir Putin di Rusia dan Xi Jinping di China, adalah kenyataan politik yang dapat terjadi mulus di mana-mana tanpa harus khawatir dituduh sebagai negara anti demokrasi.
Menyikapi Globalisasi
Oposisi juga harus lebih kritis dan dengan nalar yang kuat menyikapi masalah-masalah global, terutama yang menyangkut posisi Indonesia yang selama ini dituduh terperangkap terlalu jauh dalam sistem neoliberalisasi yang membahayakan. Masalah paling sensitif tentulah peran khilafah China yang banyak diresahkan itu.
Sebagai perbandingan, berdasarkan laporan Joshua Kurlantzick (Juni, 2019), kampanye pengaruh global China telah begitu menarik dan mengundang tanggapan yang meningkat di berbagai negara. RUU dua partai di Senat AS dan UU anti-campur tangan di Australia hingga UU baru di Jerman, yang akan membatasi investasi Cina di media, bukanlah isapan jempol. Jika negara-negara maju seperti itu menilai harus melakukan sesuatu, mengapa Indonesia malah menggelar karpet merah untuk khilafah China?
Semua pemimpin dunia pada dasarnya sangat sadar bahwa di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, Beijing dirancang sedemikian rupa untuk memiliki kekuasaan yang lebih terbuka di luar negeri. Begitu transparan China selalu mencoba memengaruhi debat politik, liputan media, dan sistem pendidikan negara lain. Para pemimpin negara besar itu sadar bahwa China sedang mengatur langkah memperluas kontrol otoriter terhadap informasi, memanipulasi diskusi tentang kebijakan dan mengintimidasi populasi etnis Tionghoa di seluruh dunia.
Joshua Kurlantzick dalam pengalamannya sebagai senior fellow for Southeast Asia at the Council on Foreign Relations membagi kisah bahwa di luar kekuatan keras paksaan militer dan ekonomi, China telah memperluas kekuatan lunaknya untuk “menjual” citra diri melalui media pemerintahnya sendiri dan kesepakatan berbagi konten dengan outlet asing. Ini juga menyebarkan “kekuatan tajam” untuk memanipulasi masyarakat lain, seringkali melalui informasi yang salah.
Penyiar Cina CGTN dan berita baru Xinhua telah membuka biro-biro asing baru dan mengisi banyak wartawan dari CNN, Al Jazeera, BBC, dan gerai-gerai terkemuka lainnya. Beijing memberikan pengaruh yang terlalu besar terhadap pers berbahasa Cina internasional (termasuk di AS), sehingga membatasi pengawasan internasional terhadap China. Kantor berita negara propaganda Cina telah mengumpulkan jumlah pengikut Facebook yang mengejutkan, hampir semuanya dari luar China (di mana Facebook diblokir).
Institusi Konfusius yang menawarkan pelatihan bahasa dan budaya di universitas telah mempromosikan sensor dengan memblokir bahan konferensi dan mengembangkan “kode pidato formal dan informal” di sekitar isu-isu sensitif. Departemen Pekerjaan Front Bersatu Tiongkok telah berkembang dan diberi peran global yang lebih besar untuk menekan kritik dan secara diam-diam memengaruhi asosiasi etnis Cina, partai politik, organisasi kampus, dan kelompok lain.
Keuntungan yang diraup China sejauh ini beragam. CGTN adalah satu-satunya jaringan paling populer ke-10 di Asia, misalnya, dan terus berjuang untuk menjangkau pemirsa di wilayah lain. Tetapi upaya ini telah memicu serangan balasan di beberapa negara bagian, dan kekuatannya yang tajam dapat berakhir dengan melukai kekuatan lunaknya.
Direktur FBI Christopher Wray telah memperingatkan universitas bahwa China menggunakan kerjasama untuk spionase dan mengatakan FBI mengambil “langkah investigasi” ke Confucius Institutes, beberapa di antaranya telah ditutup karena laporan tentang sensor. Pendekatan Cina yang kasar telah mengasingkan para pembuat kebijakan dan masyarakat umum di Australia, Malaysia dan di tempat lain. Intinya, menurut Joshua Kurlantzick, jangkauan operasi pengaruh Cina itu jauhdan benar-benar sebuah upaya konsekuensial yang pantas diwaspadai, bahkan jika mereka belum semuanya terbukti berhasil seperti yang dimaksudkan Beijing.
Politik Kawasan
Oposisi Indonesia juga wajib mencatat dan memperjuangkan perbaikan demokrasi yang mengalami penurunan di kawasan Asia Tenggara. Menurut Joshua Kurlantzick, tahun 2018 gejala serius penurunan demokrasi di Negara-negara Asia Tenggara. Kamboja, Filipina, Thailand, Myanmar, dan bahkan Indonesia, menggambarkan kemunduran berkelanjutan.
Dengan pengecualian Malaysia untuk tren ini, selain kemunduran pada masalah kebebasan pers, Asia Tenggara juga mengalami kemunduran terkait hak dan kebebasan. Kamboja jelas-jelas menjadi negara berpartai tunggal setelah Pemilu palsu. Thailand melakukan apa saja untuk mencegah oposisi bersatu, melarang partai mengorganisasikan diri sebelum pemilu Februari 2019, dan menempatkan sebagian besar partai pada posisi yang kurang menguntungkan sebelum pemilu. Larangan itu baru dicabut pada bulan Desember.
Filipina menindak keras kebebasan pers termasuk mencoba mematikan Rappler, salah satu outlet berita independen paling terkenal di negara itu. Juga tampak mengintimidasi gerai jurnalisme lain, dan telah melayangkan rencana untuk meluncurkan regu pembunuh di luar hukum yang lebih banyak, yang katanya akan menyerang siapa pun yang terkait dengan kelompok komunis pemberontak.
Kepemimpinan baru Laos berjanji untuk mengambil langkah-langkah sulit membasmi korupsi, namun secara keseluruhan, kampanye anti-korupsi hanya membuat sedikit terobosan. Janji-janji untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas tidak memiliki efek nyata, pemerintahan tetap sangat otoriter dan tertutup.
Dari Myanmar pemerintah National League for Democracy/Aung San Suu Kyi telah membuktikan kekecewaan mendasar, mengawasi reformasi demokrasi yang terhenti, kemunduran kebebasan pers, dan kebijakan pembumihangusan terhadap Rohingya di wilayah Myanmar Barat.
Oposisi Bukan Utopia
Apakah oposisi terlalu utopis untuk sistem dan kebudayaan politik di Indonesia? Tidak sama sekali. Kita mulai menghitung dengan perasaan. Di luar keputusan resmi siapa pemenang pilpres 2019, populasi besar sedang dan belum selesai mengkalkulasi kekuatan mana yang dominan di antara pendukung 01 dan 02. Kemudian, jika Joko Widodo dan Cebong Indonesia di dalam dan luar negeri tetap merasa Prabowo Subianto dan Kampret Indonesia di dalam dan luar negeri adalah musuh utamanya, tak hanya dalam rivalitas lima tahunan, maka tak ada gunanya rujuk apalagi yang terkesan seperti basa-basi itu.
Sebaliknya jika Prabowo dan seluruh Kampret Indonesia di dalam dan luar negeri merasa Joko Widodo dan seluruh Cebong Indonesia di dalam dan luar negeri adalah musuhnya, maka jelas juga tak ada manfaat membicarakan rujuk hanya dengan mengatakan sudah ada pidato di stasiun MRT dan pula sudah ada makan siang dua pesaing dalam perebutan puncak kekuasaan Indonesia.
Joko Widodo dan Cebong Indonesia di dalam dan luar negeri boleh saja merasa lebih hebat dan terbukti telah keluar sebagai pemenang, tetapi Prabowo Subianto dan Kampret Indonesia di dalam dan luar negeri tetap saja dapat merasa perlu mengabadikan perasaan bahwa dirinya dirampas dengan kecurangan secara terstruktur, sistematis dan massif (TSM). Jangan ada yang pura-pura tidak tahu soal ini.
Penutup
Rancangan rujuk boleh saja dimaknai sebagai model kekeluargaan khas demokrasi Indonesia. Agaknya harus diawali dengan mengulangi pertanyaan apa perlunya rekonsiliasi itu. Katanya demi persatuan nasional. Katanya demi NKRI. Katanya untuk merah putih. Katanya bagi garuda.
Jika hanya akan bertahan pada capaian simbolik pertemuan di stasiun MRT, pidato ringkas berbalas Joko Widodo dan Prabowo Subianto di sana dan makan siang yang dijadwalkan, rujuk pun harus dianggap sudah selesai dalam batas teka-teki berkepanjangan. Tetapi demi NKRI, Merah Putih, Garuda atau apapun yang diungkapkan untuk simbolisasinya, agaknya kedua belah pihak harus mau membangun powersharing dalam pemerintahan.
Berwacana tentang oposisi itu memang seperti hero belia yang tangan dan kakinya belum pernah berlumpur. Tetapi hal itu pasti bisa didisain untuk tak hanya enak didengar, meski banyak orang, untuk saat ini, menilai seakan sia-sia untuk diharap. Jangan sekali-kali meremehkan bahwa oposisi untuk periode pemerintahan kedua Joko Widodo pasti akan beroleh signifikasi yang luar biasa, baik dalam gagasan mau pun dalam strategi dan target, jika dibanding dengan sikap-sikap yang mirip selama periode pertama. Jokowi-Ma’aruf pasti kewalahan, dan jika akan memilih sikap tak bersahabat dengan suara kritis oposisi dan merasa yakin represitas politik sebagai pilihan, resikonya sangat besar,
Katakanlah saat ini sama sekali kosong asumsi apakah kedua belah pihak bersedia, tetapi sebuah model powersharing untuk Indonesia bisa dibangun untuk menghindari ketidak-harmonisan berbangsa yang selama pemerintahan Jokowi-JK mengalami eskalasi.(*)
Shohibul Anshor Siregar, dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS)