Oleh: M. Risfan Sihaloho
S elain merupakan buah dari “perjuangan yang didorong oleh keinginan luhur”, bangsa Indonesia juga meyakini bahwa kemerdekaan yang diraihnya 97 tahun silam adalah “atas rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Pengakuan ini termaktub dengan jelas dan tegas dalam alenia ke tiga Pembukaan UUD 45.
Artinya, selain ada ikhtiar horizontal kemanusian (antroposentris), ternyata bangsa ini juga percaya ada intervensi vartikal Tuhan (teologis) di dalamnya yang tidak bisa dinafikan.
Bila kita cermati, bentuk pemahaman seperti itu menjadi bukti betapa sesungguhnya dari awal Indonesia adalah bangsa yang sudah memiliki kesadaran imanental yang cukup kuat, yakni kesadaran teologis yang meyakini Tuhan Yang Maha Kuasa tak pernah absen dan selalu mengambil bagian dalam setiap proses-proses kehidupan manusia.
Oleh karena itu, sangat beralasan jika kemudian bangsa ini juga menempatkan kesadaran sakral imanensi sekaligus transendensi itu sebagai poin pertama pada dasar negaranya, yakni “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Sebagai sebuah “rahmat”, maka sudah sepantasnya kemudian kemerdekaan itu untuk selalu kita syukuri. Karena jika kita pandai mensyukurinya, maka Allah SWT sudah menjanjikan bonus (reward), yaitu akan menambah nikmat tersebut. Namun jika kita mengingkarinya, justeru sebaliknya Dia akan menjatuhkan sangsi (punishment) yang setimpal, yakni azab yang sangat pedih (QS.Ibrahim:7).
Dan bila ditelisik kembali, sesunggunya secara obyektif visi ajaran Islam sebagai agama mayoritas cukup signifikan dalam memberi inspirasi dan sugesti bagi bangsa ini untuk mewujudkan dan menjalankan kemerdekaanya.
Salah satu buktinya adalah, suatu ketika, saat berpidato pada HUT Proklamasi 1964, Bung Karno pernah mengutip sebuah ayat al-Qur’an, tepatnya ayat 11 surat ar-Ra’ad. Dengan penuh retotis dan puitis Bung Karno menyampaikan orasinya;
“Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi Gitamu, Innallahu la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim. Tuhan tidak merubah nasibnya sesuatu bangsa sebelum bangsa itu sendiri merubah nasibnya”.
Bagi bangsa ini, mensyukuri rahmat kemerdekaan sebenarnya memiliki makna yang sangat luas dan dinamis. Saat memproklamirkan kemerdekaannya bangsa ini sesungguhnya sudah sangat beruntung, karena telah dianugerahi Tuhan Sang Maha Pencipta potensi sumber daya alam yang melimpah ruah.
Di bawah hamparan buminya yang luas, terkandung kekayaan alam yang luar biasa. Seperti minyak bumi, gas alam, emas, tembaga, timah, batubara dan sebagainya.
Dan di atas bentangan tanahnya, beraneka tumbuhan secara alamiah bisa hidup dengan suburnya. Saking suburnya, oleh grup musik legendaris, Koes Plus, dalam sebuah lirik lagunya menjuluki negeri ini dengan “Tanah Surga”, dimana tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Dengan potensi sumber daya alam yang dimilikinya, maka sesungguhnya Tuhan telah memberikan modal lebih bagi bangsa ini untuk menjalankan agenda kemerdekaannya, sehingga kemudian kemakmuran dan kesejahteraan yang menjadi cita-cita dari kemerdekaan itu bisa dengan mudah diwujudkan.
Namun, ternyata proyeksi itu tidak berlaku sama sekali di negeri ini. Justru yang berlaku adalah sebaliknya. Bangsa ini terbukti tak mampu berbuat banyak dalam memanfaatkan dan mengoptimalkan kelebihan potensi yang dimilikinya. Jangankan mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan, untuk sekadar berdaulat dalam menyukupi kebutuhan dasar rakyatnya saja bangsa ini sepertinya kesulitan.
Setelah berhasil melepaskan diri dari cengkraman imprealisme bangsa asing yang kita anggap telah menginjak-injak sisi kemanusian kita dan mengeksploitasi kekayaaan alam kita selama berabad-abad, justru anehnya kemudian kita memperlihatkan sikap yang sangat naif. Watak dan tabiat kolonialisme yang sebelumnya kita kutuk dan menjadi alasan utama para pahlawan bangsa ini rela mati-matian berjuang merebut kemerdekaan, justru kemudian menjangkiti kita.
Dalam alam kemerdekaan, muncul subyek imprealis-imprealis baru yang berasal dari kalangan anak bangsa sendiri. Lantas kemudian kekayaan alam negeri ini lebih sering disantap dengan rakus oleh segelintir anak bangsa saja di atas meja perjamuan yang sangat elitis. Sementara mayoritas anak bangsa lainnya sering cuma jadi penonton, atau mendapatkan sisa-sisa, bahkan tak jarang yang sama sekali tak dapat bagian.
Terkait hal ini, kiranya benar apa yang pernah diprediksi oleh Bung Karno; “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Bila kita cermati, fakta di atas menjadi bukti betapa bangsa ini sebenarnya telah gagal mengejewantahkan rasa syukurnya dalam berkemerdekaan. Sebagai implikasinya, maka bukan “nikmat” kemerdekan yang kemudian dirasakan, melainkan “laknat” kemerdekaan.
Kemerdekaan justru seakan menjelma jadi ruang “penjara baru” bagi sebagian besar rakyat negeri ini. Faktanya, secara ekonomi, politik, budaya bahkan moral masih banyak warga bangsa ini merasa belum merdeka dalam arti sesungguhnya. Negara sama sekali belum mampu mempersembahkan cita-rasa kemerdekaan yang konkrit dan otentik kepada segenap warganya.
Dalam rangka mensyukuri rahmat kemerdekan yang dianugerahkan oleh Sang Khalik itu, caranya tentu tidak cukup sekedar dengan merayakannya secara serimonial setiap tahun. Menurut penulis, justru tradisi seperti itu jelas sama sekali tidak mencerminkan dari pentingnya sikap menyukuri kemerdekaan. Bahkan dalam hal tertentu, tradisi “merayakan” hari kemerdekaan dengan penuh selebrasi serimonial justru bisa membawa kesan ironis dan kontraproduktif.
Memang, tradisi “memperingati” hari kemerdekan yang saban tahun kita gelar sepertinya perlu diluruskan lagi pemaknaannya, yakni sebagai momentum untuk mereaktualisasi kesadaran dan membuat resolusi dalam kerangka mensyukuri rahmat kemerdekan.
Dengan demikian, hal ideal yang seyogianya dilakukan adalah bagaimana segenap anak bangsa ini mau dan mampu mengapresiasi peringatan hari kemerdekaan itu secara reflektif dan transformatif.
Dan jika memang bangsa ini masih memiliki kesadaran imanensi dalam mengisi kemerdekaannya, seperti yang pernah diyakininya dulu saat memproklamirkan kemerdekaan, maka setidaknya nilai-nilai hukum universal Ketuhanan — seperti keadilan — harus bisa ditegakkan secara sungguh-sungguh dan konsisten. Keadilan menjadi kata kunci yang tidak terbantahkan jika bangsa ini ingin sukses menjalankan misi mengisi kemerdekaannya.
Dengan modal kesadaran transendensi yang mengedepankan nilai keadilan itu, makanya selayaknya kita optimis derajat kemerdekaan sebagai “rahmat” bisa disublimasi menjadi derajat kemerdakaan yang benar-benar dirasakan sebagai “nikmat” oleh segenap rakyat Indonesia, bukan segelintir saja.
Nikmat disini maknanya tidak lain adalah kesejahteraan dan kemaslahatan bersama (bonum commune). Itulah tujuan utama dari ikhtiar mengisi kemerdekaan. (*)