Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Akhirnya putusan sesuai permohonan perkara 62/PUU-XXII/2024 ini telah melambungkan nama pengaju, yakni Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Sesuai argumen mereka, yang menurut saya tidak begitu berbeda dengan substansi argumen-argumen sebelumnya, MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Beberapa Catatan Penting
Pertama, “suara busuk”. Perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Tetapi di sini MK mestinya juga harus menegaskan bahwa besaran suara yang diprasyaratkan dalam rumus Presidential Thershold itu adalah suara “busuk” dalam pengertian bukan real time data. Setiap pemilu dinamika kontestasi melahirkan perubahan perolehan suara. Menggunakan data lima tahun sebelumnya adalah artikulasi kepentingan anti demokrasi yang sayangnya tak saya temukan dalam narasi putusan MK.
Kedua, Jawa Lagi, Jawa Lagi. Menjelang pemilu sebuah media nasional menyelenggarakan diskusi publik di kampus saya dengan tema “Pilpres 2024: Jawa Lagi, Jawa Lagi”. Putusan MK tidak menyentuh hegemoni anti demokrasi ini yang seyogyanya penting menjadi perhatian dalam rekayasa UU Pemilu ke depan. Total vote mechanism akan menjamin hanya orang Jawa yang boleh dan bisa menjadi Presiden di Indonesia.
Ini dapat dibuat lebih demokratis dengan mengubah total vote mechanism ke perhitungan kemenangan di semua provinsi. Provinsi yang paling banyak dimenangkan oleh satu pasangan calon dinyatakan sebagai pemenang.
Ketiga, Pilpres dengan Calon Presiden Tanpa Wakil. Harus dipikirkan bahwa Wakil Presiden di seluruh dunia adalah ibarat “ban serap” belaka. Dalam rekayasa UU Pemilu mendatang, itu dapat diubah menjadi tanpa pasangan. Penentuan wakil itu secara politik selalu diwarnai oleh pertimbangan elektabilitas belaka, bukan kualitas sama sekali.
Diperlukankah Wakil Presiden? Presiden terpilih mengajukan sejumlah figur ke MPR untuk dipilih menjadi Wakil. Bagaimana jika Presiden mangkat? Bawa lagi ke MPR untuk mensahkan peroleh suara terbanyak ke dua menjadi presiden untuk sisa masa jabatan yang ditinggalkan oleh presiden yang mangkat.
Sejak Soekarno Indonesia tidak pernah menampilkan performa politik yang harmonis di antara Presiden dan Wakil Presiden. Amerika, yang barangkali adalah tauladan yang di-copy paste oleh Indonesia, juga menunjukkan fenomena yang sama.
Keempat, Pilpres Langsung dan Tak Langsung. Presiden Prabowo Subianto dalam pidato HUT 60 Golkar melontarkan keinginan agar pilkada diselenggarakan di DPRD. Jika ini akan segera terwujud (ingat tahun 2014 pada masa akhir masa jabatan SBY ada UU yang senafas, meski beberapa hari dilawannya sendiri dengan sebuah perppu yang ditandatanganinya sendiri), maka hal itu akan menjadi semangat besar dan moral yang kuat untuk mengembalikan sistim pemilihan Presiden kembali ke MPR seperti pada masa Orde Baru.
Argumen filosofisnya ialah sila ke 4 Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Jika menurut substansi makna sila ke 4 ini hanya sekali pemilihan langsung, yakni pemilihan wakil rakyat. Selebihnya dilangsungkan di DPRD dan MPR.
Kelima, Apa yang berbeda? Saya ingin berprasangka baik saja kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutuskan bahwa presidential threshold yang diatur dalam UU Pemilu itu inkonstitusional, padahal diketahui bahwa sebelumnya pasal 222 UU Pemilu itu telah digugat ke MK sebanyak 31 kali. (*)
Penulis Dosen FISIP UMSU, Medan