Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Setidaknya dua hal yg saya lihat perlu ditinjau dalam aturan Pemilihan kepala Daerah (Pilkada).
Pertama, ketegantungan oligarkis kepartaian dalam penentuan calon. Pertanyaanya bukan “bayarnya berapa ke daerah sebelum menunaikan berapa bayaran lagi ke pusat”, meski pun hal ini juga sangat penting.
Tetapi Jakarta tak selalu tahu kondisi daerah, namun menurut regulasi yang berlaku ia pula yang menentukan calon kepala daerah. Akhirnya rakyat yang berpilkada di daerah hanya memilih hasil pilihan orang Jakarta. Aspirasi rakyat daerah disepelekan.
Atas nama oligarki itu pulalah selama ini telah terjadi pengkhianatan serius terhadap nilai demokrasi, sebab menganggap rakyat daerah tak bisa menentukan dan tak tahu kriteria calon yang baik untuk mereka. Ini salah satu paradoks demokrasi Indonesia yang mengarusutamakan sentralisme kekuasaan.
Tak jarang Jakarta mendropping kadernya dari daerah yang berbeda dan memiliki jarak yang amat jauh dari segi psikologis dan budaya. Pertanyaanya ialah, bagaimana calon semacam ini bisa menang sedangkan ia tak mengenal daerah tempatnya berkompetisi dan rakyat yang memilih juga tak mengenal. Tentu harus ada resep anti demokrasi yang harus dijalankan agar calon seperti ini bisa menang. Apa gerangan?
Saya kira hanya satu, yakni politik uang. Orang di Indonesia hingga kini belum menyadari praktik ini, dan khususnya politik uang, adalah bentuk kekerasan langsung (direct violence) yang dikokohkan oleh kekerasan tidak langsung (indirect violence) berupa kekerasan struktural (structural violence) dan kekerasan budaya (cultural violence).
Jadi, jika orang yang dicalonkan dengan cara seperti ini berhasil menang, ia pasti akan menjadi parasit bagi daerah dan agenda utamanya pastilah berusaha sekuat tenaga mendisign peternakan korupsi untuk diri dan gerombolannya. Ia akan memeras sumberdaya daerah seperti VOC melakukannya ketika Belanda masih menjajah di sini.
Karena itu, para elit politik Indonesia (tokoh eksekutif dan legislatif) harus diberi asupan pelajaran demokrasi agar mereka dengan sendirinya bersedia memberi penghargaan atas demokrasi dan apresiasi aspirasi rakyat. Rakyat tak boleh secara abadi dibiarkan mengemis kepada mereka untuk hak-hak normatif yang sesungguhnya dijamin oleh nilai-nilai demokrasi.
Kedua, mengapa seorang legislator harus mundur jika akan ikut pilkada? Apa pertimbangannya? Saya melihat ketakmasukakalan ini harus direvisi. Bahwa ia harus cuti iya. Pengaturannya harus dibuat eksplisit agar tak dilematis dan gonjang-ganjing seperti Joko Widodo dan para menterinya memperagakan anomali politik saat pemilu 2024 yang lali. Tetapi calon seperti ini tak perlu kehilangan status sebagai legislator.
Begitu juga sebaliknya, orang berstatus ASN tak perlu mundur jika akan maju pemilihan dalam pemilu maupun pilkada. Banyak stok calon yang akan menambah kualitas demokrasi dan pemerintahan jika pembatasan ini direvisi. Di dalam organisasi eksekutif itu banyak teknokratis yang briliian yang hanya karena aturan birokratis potensinya tak disalurkan untuk memajukan Indonesia kecuali sebatas lakon-lakon dan sumbangan pemikiran hipokratis belaka.
Banyak hal yang sangat memerlukan tinjauan dalam sistem politik dan demokrasi Indonesia agar demokrasi tidak berujung korosif. Tema perombakan radikal legalframework demokrasi dan politik Indonesia sangat mendesak dilakukan, dan itu tak akan muncul dari raja-raja yang memerintah Indonesia secara tersembunyi dari balik demokrasi kepartaian yang anti demokrasi. (*)