Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Analisis politik uang sebagai bentuk kekerasan langsung (direct violence) yang diabadikan oleh kekerasan tak langsung berupa kekerasan struktural (structural violence) dan kekerasan budaya (cultural violence) yang menahun, menggunakan perspektif Segitiga Kekerasan Johan Galtung, dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Kekerasan Langsung. Politik uang secara langsung termanifestasi dalam praktik seperti:
Membeli suara (memberikan uang atau imbalan lain kepada pemilih untuk memilih kandidat tertentu);
menyuap pejabat (memberikan uang atau imbalan lain kepada pejabat untuk mendapatkan keuntungan atau pengaruh); mendanai kampanye politik secara ilegal (menggunakan uang yang diperoleh secara ilegal untuk membiayai kampanye politik); dan lain-lain.
Praktik-praktik ini merupakan bentuk kekerasan langsung karena secara langsung merugikan hak-hak individu dan masyarakat. Politik uang dapat merampas hak politik rakyat untuk memilih pemimpin secara bebas dan adil. Juga mendistorsi hasil pemilu dan memunculkan pemimpin yang tidak kompeten atau korup dan memperkuat kesenjangan sosial dan ekonomi dengan memberikan keuntungan bagi orang kaya dan berkuasa.
Kedua, Kekerasan Tak Langsung Berupa Kekerasan Struktural. Politik uang dilestarikan oleh kekerasan struktural yang tertanam dalam sistem politik dan ekonomi. Faktor-faktor seperti lemahnya penegakan hukum, berupa kurangnya penegakan hukum terhadap praktik politik uang memungkinkan praktik ini terus berlangsung,
Kemudian, ketimpangan kekayaan, dimana kesenjangan kekayaan yang besar memberikan keuntungan bagi orang kaya dan berkuasa untuk menggunakan uang mereka untuk memengaruhi politik.
Selanjutnya, kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Kurangnya transparansi dalam pendanaan kampanye politik memungkinkan praktik korupsi dan politik uang.
Kekerasan struktural ini menciptakan lingkungan yang kondusif bagi politik uang dan mempersulit pemberantasannya.
Ketiga, Kekerasan Tak Langsung Berupa Kekerasan Budaya. Politik uang juga diabadikan oleh norma dan nilai budaya yang mentoleransi korupsi dan nepotisme:
- Sikap seperti pandangan bahwa politik adalah bisnis: anggapan bahwa politik adalah bisnis yang sah untuk mencari keuntungan pribadi.
- Penghormatan terhadap orang kaya dan berkuasa. Implikasi ini menimbulkan keyakinan bahwa orang kaya dan berkuasa lebih pantas untuk memimpin.
- Kurangnya kesadaran akan bahaya politik uang: Ketidaktahuan tentang dampak negatif politik uang terhadap masyarakat.
Kekerasan budaya ini menormalkan praktik politik uang dan membuatnya lebih sulit untuk diubah.
Ringkasnya, politik uang adalah bentuk kekerasan yang kompleks yang melibatkan kekerasan langsung, struktural, dan budaya. Untuk memberantas politik uang, diperlukan upaya komprehensif yang mengatasi ketiga jenis kekerasan ini. Upaya tersebut dapat meliputi upaya yang terukur untuk memperkuat penegakan hukum terhadap praktik politik uang; mengurangi kesenjangan kekayaan dan meningkatkan akses ke pendanaan kampanye yang adil; meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam politik; dan mempromosikan budaya politik yang anti-korupsi dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Dengan mengatasi akar penyebab politik uang, diasumsikan dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan demokratis.
Paradoks politik yang selalu terjadi di berbagai negara ialah apa yang disebut siklus bisnis politik yang menunjukkan perilaku pemerintahan yang seakan bermurah hati mengalokasikan sejumlah dana tertentu yang dirancang untuk tujuan pengaruh politik yang ditargetkan menyasar orang miskin yang lazimnya menderita myopic (tak faham dampak politik dari pilihannya karena rendahnya literasi dan kondisi kemiskinan struktural yang dialaminya) agar beroleh insentif elektoral. Kisah ini banyak diperbincangkan dalam persidangan PHPU pilpres 2024 oleh Mahkamah Konstitusi.