TAJDID.ID~Medan || Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal bolehnya berpihak presiden dan menteri pada pemilu terus menuai kontroversi dan dapat sorotan publik, terutama dari para pakar dan akademisi hukum.
Anggota Majelis Hukum & HAM PP Muhammadiyah, Dr Faisal SH MHum mengatakan, pernyataan itu membuktikan Presiden Jokowi tidak memahami hakikat dan etika hukum.
“Sebagai seorang Presiden yang berfungsi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, pernyataan yang dilontarkan Presiden Jokowi menunjukan ketidakpahaman terhadap hakikat dan etika hukum itu sendiri,” ujar Dekan Fakultas Hukum UMSU ini, Kamis (25/1/2024).
Karena, kata Faisal, pernyataan presiden tersebut bisa di artikan oleh sebahagian orang sebagai sebuah norma yang akan di rujuk, mengingat presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan memiliki peran dan fungsi yang luas.
Pertama, sebagai Kepala Negara Presiden merupakan pemimpin negara dan pemimpin seluruh bangsanya, bukan pemimpin kelompok tertentu saja. Serta sebagai fungsi panglima tertinggi militer, diplomat tertinggi, keamanan dan pemberian atas dasar hak yuridiksi.
Kedua, sedangkan fungsi dan peran presiden dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan, merupakan kepala administrasi Negara.
“Di sini peran dan fungsi presiden merujuk pada kekuasaan eksekutif dan pemerintahan yang berada di tangan presiden, yang tugasnya adalah mengeksekusi atau mengimplementasikan UU secara benar,” kata Faisal.
Berita terkait:
Lebih lanjut Faisal menjelaskan, hakikat hukum merupakan kajian filosofis secara mendalam meliputi unsur-unsur apa saja pemberlakuan sebuah norma kepada masyarakat. Mengitip pendapat pakar hukum Ernst Utrecht, Faisal mengatakan bahwa hakikat hukum merupakan persoalan-persoalan meliputi tujuan hukum, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Sedangkan Etika hukum merupakan kajian ilmu tentang kesusilaan, tentang apa yang baik dan yang buruk, yang patut dikerjakan seseorang dalam jabatannya sebagai pelaksana hukum dari hukum yang berlaku dalam suatu negara.
“Berdasarkan Peran dan Fungsi Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tersebut pernyataan Presiden yang menyataan Presiden dan Menteri boleh berpihak dalam Pemilu, menurut hemat kami nyata-nyata ketidak pahaman Presiden akan hakikat dan etika Hukum itu sendiri,” tegasnya.
“Secara hakikat hukum, pernyataan tersebut membuktikan bahwa Jokowi tidak memahami persoalan-persoalan yang terjadi di tengah masyarakat yang ia pimpin, bukan kah terkait dengan pilihan masyarakat saat pemilu tidak tertuju kepada satu paslon saja, tetapi terdapat perbedaan pilihan oleh masyarakat,” imbuhnya.
Faisal khawatir, dampak dari pernyataan Jokowi ini akan menjadikan Presiden dan pejabat negara lainnya akan berpihak kepada salah satu paslon dalam pemilu. Dan jika itu yang terjadi, maka jelas prinsip keadilan telah dilanggar secara nyata dan terang benderang.
Menurut Faisal, keberpihakan yang ditunjukan sudah nyata hanya akan bermanfaat bagi pihak tertentu dan tidak bermanfaat bagi pihak lain, sehingga nyata-nyata pernyataan tersebut melanggar prinsip kemanfaatan bagi masyarakat luas.
“Sehinga pernyatan tersebut mempertontonkan bahwa Presiden tidak memperhatikan prinsip keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum,” ujarnya.
Sedangkan secara etika, Faisal menilai pernyataan Jokowi tersebut tidak diukur dari aspek kepatutan, tidak mengukur dampak dari pernyataan tersebut akan berakibat baik atau buruk terhadap kondisi masyarakat.
Lebih dalam Faisal menjelaskan, pernyataan Presiden Jokowi patut di duga tidak mengkaji secara medalam UU Pemilu, mungkin saja Presiden hanya berpedoman kepada ketentuan Pasal 281 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 yang berbunyi: “Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan: a. Tidak menggunakan failitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara ebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan; dan b. Menjalani cuti di luar tanggungan negara.
“Menurut hemat kami masih terdapat ketentuan lain yang semestinya di pedomani oleh Jokowi dalam membuat pernyataan yaitu ketentuan Pasal 282 UU No. 7 Tahun 2017 tentang larangan kepada ‘pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye'” jelas Faisal.
Faisal menambahkan, dalam Pasal 283 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 juga terdapat ketentuan yang mengatur soal pejabat negara yang serta aparatur sipil negara yang dilarang melakukan kegiatan yang mengarah kepada keperbihakan kepada peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah kampanye. Ketentuan itu berbunyi ‘Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye’.
“Ketentun ini jelas ingin memastikan, pejabat negara, apalagi selevel presiden dan menteri untuk tidak melakukan kegiatan yang mengarah pada keberpiakan pada peserta pemilu tertentu. Bahkan larangan itu diberikan untuk ruang lingkup waktu yang lebih luas, sebelum, selama, dan sesudah kampanye,” pungkas Faisal. (*)