Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Hak Airlangga Hartarto untuk mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Apa pun alasan yang dikemukakan dan yang disembunyikannya di balik pengunduran diri itu, sepenuhnya menjadi urusan subjektif dia pribadi.
Tetapi karena dalam pengunduran dirinya itu ia memberi diksi yang khas tentang masa depan pemerintahan pasca transisi Indonesia 2024, maka dengan sendirinya ia mengundang rakyat Indonesia untuk memanfaatkan kesempatan mngevaluasi kinerja ekonomi Indonesia yang di dalam kepemimpinan Joko Widodo dirinya dipercaya sebagai Menteri Koordinator Perekonomian.
Pertama, upaya membuka potensi pertumbuhan ekonomi yang terkendala oleh kemampuan melahirkan inisiatif yang cerdas. Tiga permasalahan utama, paling tidak, ialah identifikasi potensi pertumbuhan itu sendiri, tiadanya rencana cerdas untuk menjawab pertumbuhan produktivitas yang lesu, dan miskinnya akal untuk berbagai cara yang dapat mengandaikan peran teknologi dalam meningkatkan pertumbuhan pada masa mendatang.
Fakta-fakta dalam upaya mitigasi perubahan iklim yang memengaruhi perdagangan global, dan kemampuan untuk bertransisi ke ekonomi yang lebih berkelanjutan berdasarkan perspektif lingkungan, cukup dominan dalam kinerja pemerintahan Indonesia. Hal itu menunjukkan tanggung jawab Airlangga Hartarto yang tak dijalankan secara baik dan benar.
Kedua, arus perdagangan sebagai bagian penting dari solusi dan rekomendasi tentang kebijakan perdagangan yang dapat mendukung transisi hijau Indonesia, sangat diperlukan oleh rezim yang tampaknya selalu menghindari objektivitas analisis berdasarkan data akurat. Bagaimana pun juga, Airlangga Hartarto tak dapat buang badan dari tanggungjawab ini.
Pemerintahan adalah sebuah organisasi yang rumit, dan semua tahu kerentanannya atas pengaruh eksternal yang tak menguntungkan, termasuk dari mafia lokal dan internasional. Di sinilah sebuah rezim diuji, apakah ia hadir untuk rakyat sesuai amanat konstitusi, atau hanya sebagai pelayan dependent terhadap kepentingan negara-negara besar yang mendikte trend global.
Ketiga, perkembangan e-government saat ini di Indonesia, dan berbagai hambatan dalam implementasinya, menunjukkan kondisi bahwa digitalisasi Indonesia belum dimaksimalkan dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Kesenjangan dalam infrastruktur, kepemimpinan, dan budaya kerja adalah tiga variable amat relevan untuk melatarbelakangi perumusan solusi.
Sebagaimana halnya dengan para menteri yang lain, khususnya yang bertalian dengan urusan ekonomi, Airlangga Hartarto mungkin tampak sangat besar dalam nama jabatannya itu. Tetapi faktanya tak menolong bagi rekonstruksi Indonesia, apalagi jika yang diharapkan ialah kepentingan yang niscaya untuk mengkonstruk makroekonomi konstitusi.
Keempat, Bank Dunia menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia didukung oleh peningkatan konsumsi swasta dan persyaratan perdagangan yang positif, dengan pertumbuhan PDB diproyeksikan sebesar 5% pada tahun 2023 dan rata-rata 4,9% dalam jangka menengah. Namun, tercatat bahwa risiko penurunan dari lingkungan ekonomi global sangat tinggi dan dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan Indonesia. Airlangga Hartarto tak dapat menavigasi Indonesia dalam tantangan yang nyata itu.
Sekali lagi, jika Airlangga Hartarto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar untuk memuluskan pemerintahan mendatang, maka ia harus dilihat sebagai martir penting yang mengingatkan banyak hal. Di antaranya ialah bahwa Indonesia saat ini dan propeknya ke depan tidaklah baik-baik saja. Dengan memperbanyak jumlah menteri dalam kabinet justru menunjukkan jalan pikiran yang amat keliru. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS)