TAJDID.ID~Medan || Pemerhati sosial politik, Shohibul Anshor Siregar menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan bahwa Presiden dan Menteri boleh berpihak di dalam pemilihan presiden, sepanjang tidak menggunakan fasilitas negara.
“Pernyataan itu hanya bermakna bahwa Joko Widodo sudah semakin tak mampu lagi menyembunyikan kecemasannya atas peluang yang semakin kecil bagi Prabowo-Gibran memenangi pilpres 2024. Ia sama sekali sudah tak percaya lagi pada laporan-laporan lembaga survei. Ia juga sudah sangat pesimis tentang peluang menang bagi anak sukungnya yang dipasangkan sebagai Cawapres jika hanya menempuh cara-cara normal,” ” ujar Shohibul, Rabu (24/1/2024).
Baca juga:
Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumut ini mengatakan, rakyat Indonesia harus tahu bahwa bahwa pernyataan itu terlontar dari seseorang dan satu-satunya politisi di negeri ini yang paling berpengalaman dalam kontestasi memperebutkan jabatan eksekutif yang lengkap sesuai ketatanegaraan Indonesia di tiga level berjenjang (Walikota, Gubernur dan Presiden).
“Dua kali dia memenangi pilkada meski di sebuah kota yang relatif kecil, Solo. Sebelum menyelesaikan tugasnya, ia pergi ke Jakarta dan mengalahkan petahana. Belum selesai memenuhi tanggung jawabnya ia sudah terburu-buru ingin menjadi Presiden dan dapat memenangkan pilpres 2014,” jelas Dosen FISIP UMSU ini.
“Periode keduanya diraih melalui pilpres kontroversial (2019). Hasil digugat di MK dan pengalaman buruk demokrasi terjadi yang ditunjukkan dengan meninggalnya ratusan petugas pemilu dengan diagnosis yang sulit diterima halayak, yakni faktor kelelahan,” imbuhnya.
Lebih lanjut Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS) ini menilai, Joko Widodo sangat takut perulangan pengalaman pahit dan buruk bersama Ahok (mantan wakilnya di DKI) yang dikalahkan oleh Anies pada Pilkada 2017. Menurut Shohibul, kekalahan dapat dimaknai sebagai tragedi politik yang menimpa seseorang yang posisinya adalah Presiden.
“Dia pasti sangat faham bahwa kondisi hari ini sangat mirip dengan saat rivalitas Pilkada DKI 2017. Kala Anies terus diposisikan sebagai pemilik elektabilitas paling rendah oleh Lembaga survey. Anies juga diterpa hoaks berupa tuduhan korupsi di kementerian hingga menjadi alasan bagi Joko Widodo memberhentikannya. Selain itu Anies juga diterpa isu intoleran yang terpaanya saat ini jauh berkurang karena kelompok penebar hoaks kemungkinan terfragmentasi dalam peta dukungan pilpres,” jelasnya.
Tentu, lanjut Shihibul, mula-mula Jokowi bermaksud mengukur gelombang resistensi, dan tanpa harus membuat pernyataan serupa itu sebetulnya rakyat pun sudah tahu apa yang dikerjakannya melalui apa yang ia sebut sebagai cawe-cawe.
“Jadi, sebetulnya ia sudah bekerja seperti yang dimaksudkannya dalam pernyataan itu dan ingin beroleh legitimasi,” ujar Shohibul
Setelah pernyataan itu, menurut Shohibul kini Jokowi sedang menanti dan mengevaluasi reaksi, mengukur tekanannya dan risiko politik yang harus dihadapi.
“Namun yang pasti, harus diingat, konflik kepentingan, pelanggaran pemilu dan gangguan atas prinsip netralitas adalah tiga potensi besar yang dapat melekat pada keberpihakan Presiden dan Menteri dalam pemilihan presiden,” pungkasnya. (*)