TAJDID.ID~Medan || Para Pembelajar dan Pegiat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang bergabung dalam CALS (Constitutional and Administrative Law Society) turut menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo menyatakan secara terbuka dalam wawancara dengan media bahwa presiden berhak berkampanye dalam pemilihan umum.
Melalui keterangan tertulisnya, CALS menilai, pernyataan ini bertentangan dengan pernyataan-pernyataan presiden sebelumnya yang menyatakan akan netral dan meminta seluruh jajarannya netral. Perubahan sikap ini membuktikan dengan semakin jelas betapa pentingnya larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilihan umum.
“Tak mudah bagi Jokowi untuk netral ketika anaknya berlaga dalam pemilihan presiden. Padahal harus disadari, seluruh pejabat negara melanggar prinsip keadilan dalam pemilu kita berasaskan Langsung Umum Bebas Rahasia, Jujur, dan Adil (Pasal 22E UUD 1945) bila aktif berkampanye, karena pejabat negara (presiden, menteri, kepala-kepala daerah), akan bisa mempengaruhi keadilan Pemilu,” ujar Bivitri Susanti, salah seorang aktivis CALS.
Bivitri menjelaskan, potensi mempengaruhi keadilan Pemilu melalui dua hal. Pertama, fasilitas, seperti kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi serta protokoler pejabat. Kedua, pengaruh sebagai pemegang kekuasaan akan memengaruhi netralitas birokrasi dan mengarahkan pemilih.
Ditegaskannya, keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Berita terkait:
Lebih lanjut Bivitri mengingatkan, perlu dibedakan antara “berpolitik” dan “berkampanye.” Presiden berhak berpolitik, tetapi ia tidak diperbolehkan untuk berkampanye.
“Kita bisa berdebat pada bunyi norma pasal-pasal dalam pemilu (perdebatan kami ringkas dalam lampiran), namun UU Pemilu harus pertama-tama diletakkan dalam konteks asas-asas pemilu dalam UUD 1945 yaitu LUBER JURDIL, dengan penekanan pada aspek keadilan,” kata Bivitri.
“Tentu saja, UU Pemilu mengandung banyak kelemahan. Karena selain proses legislasi mengandung kepentingan politik, norma hukum juga akan dibuat berdasarkan kasus empirik. Sedangkan nepotisme dan politik dinasti yang demikian parah serta ‘cawe-cawe’ politik yang dilakukan tanpa etik dan rasa malu, baru terjadi pada masa pemerintahan Jokowi. Karena itu, pasal-pasal itu memang belum mengantisipasi situasi presiden yang ingin berkampanye untuk kepentingan anaknya,” ujar Bivitri.
Menurut Bivitri, pernyataan Jokowi yang seakan memberi landasan hukum bagi sesuatu yang sebenarnya tidak etik dan melanggar asas keadilan dalam Pemilu sesungguhnya juga merupakan tindakan inkonstitusional karena melanggar asas Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945.
Mestinya, kata Bivitri, sebagai presiden, Jokowi harus membiarkan semua berproses sesuai aturan main yang ada, tanpa perlu membuat pernyataan yang membenarkan perilaku yang melanggar etik dan hukum.
“Biarkan lembaga-lembaga yang berwenang menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang, presiden tidak patut membuatkan justifikasi apapun, termasuk bagi dirinya sendiri,” ujarnya.
“Kita harus ingat, kepatutan atau perbuatan yang tercela yang dilakukan oleh presiden berbeda dengan yang dilakukan oleh warga negara biasa; presiden (dan semua pejabat negara) harus diletakkan dalam konteks jabatannya. Sikap yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi tidak sesuai dengan tujuan pendidikan politik yang bertanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat (2) UU Pemilu,” tambahnya.
Karena itu, CALS mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut pernyataannya tentang kebolehan berkampanye dan memperhatikan kepatutan dalam semua tindakan dan ucapannya, dengan mengingat kapasitas jabatannya sebagai presiden.
Presiden Jokowi juga didesak untuk menghentikan semua tindakan jabatan dirinya maupun menteri-menterinya, yang telah dilakukan selama ini yang berdampak menguntungkan pasangan calon presiden.
Kepada Bawaslu, CALS mengingatkan agar menjalankan tugasnya dengan baik dan bersiap-siap untuk menelaah dan memperjelas indikasi kecurangan yang bersifat TSM untuk mengantisipasi sengketa pemilu dan sengketa hasil pemilihan umum.
Sedangkan kepada Mahkamah Konstitusi, CALS menyarankan agar mulai melakukan telaah mengenai perannya dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu nanti, dalam kaitannya dengan kecurangan yang bersifat TSM, dengan melihat konteks penyalahgunaan jabatan (berikut kebijakan dan anggaran) yang semakin terlihat indikasinya pada Pemilu 2024 ini.
Tidak ketinggalan, CALS juga mendesak DPR RI mengajukan hak interpelasi dan hak angket kepada Presiden untuk menginvestigasi keterlibatan Presiden dan penggunaan kekuasaan Presiden dalam pemenangan salah satu kandidat pada Pemilu 2024.
“Seluruh penyelenggara negara (presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota) untuk tidak berlindung di balik pasal-pasal dan mengesampingkan etik. Mundur dari jabatan jauh lebih etis dan terhormat dalam situasi politik yang sangat tidak demokratis hari-hati ini,” pungkas Bivitri. (*)