Kembali ke Tradisi
Di Indonesia, ada banyak tradisi kebudayaan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Ia biasanya berupa ritual adat yang ditujukan untuk menghormati alam semesta. Ada juga yang berbentuk pelarangan-pelarangan dalam mengekspolarsi sumber daya alam dalam waktu tertentu seperti; tradisi sasi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Maluku dan Papua. Praktik yang sama di beberapa wilayah Sumatera diistilahkan dengan “lubuk larangan”.
Tradisi-tradisi ini sebenarnya adalah bentuk kearifan lokal bangsa kita yang harus dijaga secara sosial-politik. Secara sosial, ia harus diturun-temurunkan ke generasi berikutnya melalui sosialisasi dan keterlibatan kelompok pemuda dalam pelaksanaan tradisi. Secara politik, ia harus dikawal dengan berbagai bentuk regulasi dan komitment politik. Hal ini penting dilakukan karena praktik tradisi ini pada akhirnya adalah merupakan upaya menjaga siklus ekosistem sumber daya alam. Sehingga yang terjadi bukan eksplorasi tetapi sustainability.
Satu di antara bentuk tradisi ini diabadikan dalam bentuk film dokumenter oleh seorang sineas asal Sumut bernama Andi Hutagalung. Film dokumenter ini berjudul; Jamu Laut, yang berkisah tentang upacara doa yang dilakukan oleh masyarakat nelayan di wilayah pesisir timur Serdang Bedagai. Upacara doa ini dilaksanakan dengan tujuan agar masyarakat nelayan di jauhkan dari segala marabahaya dan juga sebagai simbol manusia menghormati manusia, manusia menghormati alam, sehingga Allah Swt memberikan berkah kepada para nelayan di wilayah pesisir timur Serdang Bedagai.
Film Jamu Laut ini nantinya akan diputar dan menjadi bahan diskusi menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diselenggarakan oleh Badan Pengurus Kota Orang Indonesia (BPK-Oi) Medan dan Walhi Sumut pada Hari Jumat Tanggal 9 Juni 2023 Pukul 19.00 Wib di Cafe Parkiran Kopi Sepada Jalan KLP VII Komplek Rispa IV No 17 Gedung Johor Medan.
Tidak hanya film Jamu Laut, Andi Hutagalung dan temanya Tedy Wahyudy Pasaribu juga akan menampilkan trailer film The King’s Territory yang sedang mereka garap bersama. Film The King’s Territory ini akan mengangkat cerita tentang Konflik Harimau dan Manusia di wilayah Hutan Sumatera Utara yang telah memamakan banyak korban. Film ini berupaya mencari jawaban yang tepat atas terjadinya konflik antar dua makhluk hidup ini. Dan tentu, ini adalah bagian kecil dari masalah krisis lingkungan yang berdampak pada keberlangsungan ekosistem bumi (baca; manusia, satwa, air dan tumbuhan).
Penutup
Manusia dan lingkungan pada dasarnya membentuk satu struktur ketergantungan yang tidak dapat dielakkan. Lester R Brown dalam bukunya berjudul; Hari Yang Kedua Puluh Sembilan, menggambarkan dengan detail struktur ketergantungan ini dengan menyebutkan bahwa; ikan di laut adalah sumber protein bagi manusia, hutan sebagai penyedia kertas untuk media informasi dan pendidikan manusia; bahkan padang rumput yang selama ini terlihat biasa saja, ia adalah sumber protein bagi manusia karena menjadi sumber pangan bagi sapi yang menghasilkan susu dan keju. Brown mengatakan bentuk struktur ketergantungan harus dikelola dengan baik agar dapat memberikan dampak positif. Sebab bagaimanapun, ekosistem lingkungan juga mempunyai jeda waktu untuk bisa memulihkan diri; yang dalam istilah Brown disebut sebagai Daya Dukung.
Oleh karenanya, mendiskusikan politik, tradisi dan keberlanjutan lingkungan yang diantarkan dalam satu bingkai film dokumenter tentu menjadi hal yang menarik. Setidaknya ini bisa menjadi enter point bagi pembentukan diskursus publik bahwa kita mempunyai tradisi (baik dalam bentuk sasi, lubuk larangan atau upacara seperti jamu laut) yang dapat menjadi satu mekanisme bagi ekosistem untuk “memulihkan dirinya”, sehingga prinsip sustainability bisa terwujud. Sebab, jika Brown pada tahun 1982 sudah menuliskan buku dengan Judul Hari Yang Kedua Puluh Sembilan, berarti pada tahun 2023 ini kita sudah mendekati Hari Ketiga Puluh, yang dalam konsepsi tertentu sudah mendekati krisis kepunahan. (*)
Penulis adalah Doktor Studi Pembangunan dan Dosen di FISIP UMSU