Politik dan Lingkungan
Pasca Konferensi Stockholm dan Rio de Janeiro, upaya untuk menempatkan posisi lingkungan sebagai variabel utama yang harus dijaga dalam pembangunan belum bisa berjalan maksimal. Beberapa hanya menjadi catatan di atas kertas saja. Pemburukan terhadap krisis lingkungan tidak hanya dipengaruhi oleh aspek ekonomi saja, tetapi dibalik itu terdapat juga aspek politik.
Para aktifis lingkungan sangat paham bahwa kegiatan politik dalam bentuk kebijakan dapat memberikan pengaruh bagi keberlanjutan lingkungan atau degradasi lingkungan. Penerbitan izin pengelolaan pertambangan, penerbitan izin pembukaan lahan hutan untuk kepentingan industri sawit dan lain sebagainya cenderung lebih banyak dilakukan di tahun-tahun politik, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat lokal. Bahkan jika kita katakan tahun 2023 ini adalah tahun politik, maka beberapa waktu yang lalu kita mendapatkan berita bahwa pemerintah membuka kembali izin ekspor pasir laut. Pada tingkat lokal, bentuk penerbitan izin ini banyak dilakukan oleh para incumbent yang daerahnya memiliki potensi tambang, hutan dan sawit.
Fakta-fakta ini tentu berbanding lurus dengan pengalaman kita yang hidup di wilayah perkotaan, tidak bisa dipungkirin bahwa titik-titik banjir menjadi lebih banyak, polusi udara tidak terkendalikan, aliran sungai yang mengalami penyempitan dan pendangkalan, pengelolaan air tanah dan distribusi ketersedian air bersih, belum lagi permasalahan-permasalahan teknis seperti pengelolaan sampah rumah tangga yang belum terselesaikan dengan baik.
Keseluruhan masalah tersebut tentu membutuhkan satu tindakan politik bersama baik oleh government dan civil society. Tindakan politik tersebut bisa saja dalam bentuk penguatan terhadap regulasi, penegakan hukum atas perusakan lingkungan, dan gerakan-gerakan pendidikan serta kampaye kesadaran lingkungan. Komitmen ini yang perlu untuk terus dihadirkan, mengingat gagasan tentang politik lingkungan masih sangat minim dikalangan elit politik kita. Lingkungan masih dipandang sebagai satu bentuk sumber daya yang harus diekplorasi tanpa memandang pentingnya menjaga keberlanjutannya bagi generasi mendatang.
Meski agenda pembangunan global telah masuk pada tahap Sustainable Development Goals namun gagasan tentang politik lingkungan hampir sama sekali tidak ada. Perhatikan saja baleho, flayer atau media-media promosi yang dimiliki oleh para elit politik selama kampaye, kebanyakan hanya memunculkan isu tentang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi, pengembangan kewirausahaan dan UMKM, serta pembangunan infrastruktur. Padahal apalah arti pengentasan kemiskinan jika bencana banjir terus menghantui setiap hujan? Apalah arti pengembangan kewirausahaan dan UMKM jika krisis pangan akibat kerusakan lingkungan terus terjadi? Apalah arti pembangunan infrastruktur jika polusi udara yang dihasilkan dari kendaraan bermotor terus meningkat; bukankah emisi kendaraan bermotor berkontribusi sebesar 70% terhadap pencemaran Nitrogen Oksida, Karbon Monoksida, Sulfur Dioksida dan Partikulat di wilayah perkotaan?
Di Jerman, gagasan tentang politik lingkungan selama kampaye berhasil mempengaruhi kelompok pemilih pemula. Anak-anak muda di Jerman banyak memilih Partai Hijau karena partai ini membawa isu tentang climate change yang memang menjadi konsen banyak kelompok anak-anak muda di Jerman selain tentang digitalisasi. Dalam satu laporan jejak pendapat dikatakan bahwa 18% pemilih usia 16-24 tahun memilih Partai Hijau. Jumlah ini lebih besar dari partai mana pun dan membawa Partai Hijau berhasil masuk ke parlement Jerman. Di tempat kita, rasa-rasanya tidak ada partai yang secara spesifik atau bahkan general berani membawa isu lingkungan di dalam kampayenya. Lalu, apakah kita harus juga mendirikan “Partai Hijau” agar isu dan agenda tentang perlindungan lingkungan bisa menjadi prioritas utama dalam politik kita?