Namun apakah kita telah menemukan hal tersebut? Jika iya, berapa jumlahnya? Jika belum, jangan-jangan benar kritik yang disampaikan oleh banyak orang bahwa penelitian di perguruan tinggi hanya menjadi tumpukan dokumen? Tentu ini bukan hanya soal mental para akademisi saja dalam mengelola peta jalan dan rencana penelitiannya tetapi juga terkait dengan iklim riset perguruan tinggi dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mau tidak mau harus diakmodir oleh perguruan tinggi.
Misalnya pada tahun 2012 lalu, pemerintah mengeluarkan kebijakan mewajibkan publikasi skripsi, tesis dan disertasi sebagai syarat kelulusan mahasiswa. Celakanya, ketika kementerian memprioritaskan publikasi dalam bentuk jurnal bukan dalam bentuk open access repositori maka yang terjadi adalah akses repositori untuk karya seperti skripsi, tesis dan disertasi dikunci oleh pihak universitas. Jikapun dibuka biasanya hanya pada bagian pendahuluan atau hingga metode penelitian sedangkan bab hasil penelitian dan pembahasan tidak dibuka bebas. Liauw Toong Tjiek pada tahun 2017 lalu menuliskan laporan berjudul “A Different Shade of Green: A Survey of Indonesia Higher Education Institutional Repositories”, yang mengungkapkan bahwa dari 52 sampel repositori universitas di Indonesia, hanya seperempatnya saja (26%) yang memberikan akses penuh untuk karya akademik mahasiswa itupun belum tentu seluruh jenis dokumen.
Pilihan untuk menutup akses repositori ini lebih kepada alasan kekawatiran akan terjadinya self plagiarisme (baca; penjiplakan karya sendiri). Hal ini dikarenakan pada aturan dan panduan editorial jurnal ilmiah, biasanya pengelola jurnal wajib melakukan uji indeks kemiripan (similarity check) melalui Aplikasi Turnitin dengan tingkat kemiripan maksimal 15% sampai 25%. Sehingga demi memfasilitasi kewajiban ini, banyak repositori universitas terpaksa dikunci agar tidak terditeksi sistem pengecekan plagiasi.
Padahal, karya akademik sebut saja setingkat tesis dan disertasi dapat menjadi rujukan yang sangat penting dalam pengumpulan data sekunder khususnya dalam penyusunan gap problem research yang hendak diperjelas. Sebab tidak semua publikasi pada artikel jurnal memaparkan data yang utuh pada hasil peneltiiannya. Keterbatasan jumlah halaman tentu menjadi faktor teknis untuk kasus ini. Belum lagi tidak semua jurnal dikelola secara baik, masih terdapat jurnal yang secara ‘serampangan’ mempublis artikel dengan tidak memperhatikan EYD yang benar, alur pikir argument ilmiah dan logika data yang terkadang tidak tepat. Hal lainnya adalah tidak semua bidang research tercover oleh lembaga pengelola jurnal sehingga masih ada keterbatasan data untuk tema-tema penelitian tertentu.
Ketidak pahaman terkait perbedaan antara plagiasi dan similarity pada sistem open access menjadikan kita terjebak dalam perkembangan teknologi yang seharusnya dapat menjadi fasilitas intelektual yang mendukung dalam menghasilkan karya-karya terbaik. Belajar pada dinamika global, repositori dikatagorikan sebagai tempat pengarsipan bukan sebagai tempat publikasi sehingga jika ada kesamaan data yang dihasilkan oleh satu draf artikel jurnal dengan sumber yang berasal dari repositori maka hal tersebut tidak dianggap sebagai plagiasi. Contoh ini dapat dilihat di Inggris, melalui Perpustakaan Britania Raya mereka mengindeks disertasi doktor dari seluruh perguruan tinggi Inggris yang kini mencapai lebih dari 600.000 dalam suatu repositori bernama E-Theses Online Service (EThOS).
Penutup
Tidak hanya berkaitan dengan regulasi dan sistem riset nasional, tentu ada banyak variabel yang dapat dijadikan penyebab terhambatnya para akademisi dalam melahirkan karya-karya monumental. Secara personal kondisi ini bisa juga ditandai dengan ketidak konsistenan para akademisi dalam menentukan arah jalan penelitiannya yang dapat mendukung pembentukan disiplin keilmuan atau kepakaran. Banyak dari kita meninggalkan tema utama di dalam thesis maupun disertasi yang telah kita pilih dan mencari tema-tema baru yang diangap lebih populer sehingga kita tidak menemukan satu bentuk konsistensi kepakaran. Itu sebabnya karya-karya yang dihasilkan terkesan hanya memuat data-data yang ditempelkan saja tanpa diikuti dengan analisis teoritis dan empiris yang mendalam. Konsistensi ini yang sebenarnya disebut sebagai sebuah ketekunan dalam mencari ilmu pengetahuan.
Ketekunan tidak hanya diartikan sebagai usaha terus menerus, tetapi dibalik usaha terus menerus itu ada suatu upaya pendalaman dalam mencari kebaharuan atas suatu disiplin ilmu pengetahuan. Jika kita sudah mencapai satu bentuk ketekunan tersebut maka kemudian kita bisa masuk pada tahap dialektika pengetahuan. Di mana pikiran kita mampu untuk menyusun formulasi tesis, anti-tesis dan sintesis. Apakah cukup sampai di situ? Tentu saja tidak. Untuk dapat memulainya kita harus tegas memilih posisi paradigmatik kita dalam melihat satu realitas; apakah berada pada wilayah positivisme, konstruktivisme, pragmatisme, subjektivisme atau kritis.
Bagi para akademisi sosial, posisi ini menjadi sangat penting karena ia akan memberikan pengaruh terkait cara pandang dalam melihat realitas sosial yang ada. Jangan sampai kita mengalami kesalahan mendasar dalam hal ini, berupaya masuk dalam paradigma kritis tetapi analisis teori yang dipakai justru merupakan bagian dari turunan paradigma positivisme. Kondisi ini masih sering ditemui misalnya analisis teori menggunakan pandangan Durkheim tetapi metode pengumpulan data menggunakan pendekatan fenomenologi. Tentu ini menjadi hal yang harus kita koreksi bersama secara terus menurus agar “ketekunan intelektual” bisa tumbuh secara lebih baik, sehingga jangan ada lagi “joki” di antara kita. (*)
Artikel ini pertama kali diterbitkan di Mujaiyah’s Blog
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU dan Doktor Pada Bidang Studi Pembangunan