Oleh: Muhammad Arif
Pemilu memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh warga negara untuk memilih pemimpin yang akan mengelola kekuasaan negara selama lima tahun ke depan. Agar pemilu menghasilkan pemimpin yang jujur dan amanah, terlebih dahulu kita harus memastikan penyelenggara pemilu juga jujur dan amanah. Rakyat Indonesia membutuhkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang kompeten secara moral dan profesional karena merupakan kunci penyelenggaraan pemilu yang adil, bersih, terbuka, dan akuntabel.
Sebagai bagian dari menjaga integritas penyelenggara pemilu, undang-undang kita melembagakan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). misi: penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu).
Saat ini KPU telah menyelesaikan verifikasi administrasi partai politik dan tahap verifikasi aktual keabsahan partai politik untuk mengikuti pemilu 2024. Sementara itu, Bawaslu saat ini telah merekrut anggota Panwaslu di tingkat kecamatan di seluruh Indonesia , dan juga rekrutmen Komisi Pemilihan Kecamatan (PPK) dari KPU.
Menengok kembali pada pemilu sebelumnya, pada titik inilah pengaduan dugaan pelanggaran etika mulai bermunculan. Khususnya terkait dugaan pelanggaran syarat menjadi anggota Panwaslu. Di sisi lain, DKPP mengukuhkan anggota Tim Pengkajian Daerah (RPD) dari 34 provinsi yang berpusat di Yogyakarta pada 31 Oktober 2022.
Selain itu, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, saat ini sedang menyiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang mengizinkan pemilihan umum di tiga daerah otonom baru: Provinsi Papua Tengah, Papua Selatan dan Dataran Tinggi Papua. Dengan demikian, wacana penundaan pemilu yang sudah mengemuka harus diabaikan.
Meski jauh dari hari pencoblosan, persoalan integritas dan profesionalisme penyelenggara pemilu patut mendapat perhatian khusus. Apalagi, situasi politik belakangan ini mulai menghangat. Konsolidasi antar partai politik telah diamati dalam konteks politik nasional. Proses pencalonan presiden dan wakil presiden juga menarik perhatian publik.
Posisi legitimasi demokrasi
Pemilu 2024 diharapkan akan semarak dan semarak pemilu sebelumnya. Perhatian publik tidak hanya tertuju pada calon pimpinan nasional dan partai politik, tetapi juga pada persiapan dan kewaspadaan penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu pada hakekatnya adalah wakil masyarakat yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pesta demokrasi secara kualitatif. Mereka adalah pejabat terpilih yang beretika, cerdas, dan ahli serta dinilai mampu dan mumpuni untuk menuntaskan tugas tersulit, mulia, dan pelik menjadi penyelenggara pemilu.
Harus diakui bahwa menyelenggarakan pemilu berarti menyelenggarakan suatu bentuk kekuasaan yang secara langsung menentukan martabat politik suatu negara. Bentuk kekuasaan seperti itu penting sekaligus berisiko.
Penyelenggara pemilu harus selalu menyadari bahwa landasan legitimasi adalah legitimasi demokrasi. Merujuk pada filsuf Inggris, yang dikenal sebagai bapak demokrasi liberal, John Locke, pemerintahan untuk mengatur atau menjalankan kekuasaan harus selalu didasarkan pada kewenangan dan kehendak rakyat.
Dalam rangka penyelenggaraan pemilu, apa saja kewajiban dan hak rakyat? Rakyat harus dipahami sebagai warga bangsa secara keseluruhan, bukan masyarakat yang terpecah-belah dalam kelompok-kelompok pendukung calon pemimpin.
Akal sehat akan menentukan bahwa adalah tugas dan kepentingan yang disebutkan di atas untuk menyelenggarakan pemilu yang jujur, bersih, dan adil, tidak peduli siapa yang menang atau kalah. Melaksanakan tugas dan kepentingan rakyat pada hakekatnya merupakan landasan keberadaan, keputusan dan tindakan penyelenggara pemilu.
Seperti dikemukakan Franz Magnis-Suseno dalam bukunya Politic Ethics and the Basic Moral Principles of the Modern State (2003), pengelolaan kekuasaan negara bersifat mutlak, yang didasarkan pada pendelegasian dan kehendak rakyat, yang berarti bahwa pelaksanaan kekuasaan itu harus selalu berdasarkan dan dalam batas-batas undang-undang yang disahkan. Hukum atau norma hukum adalah ekspresi dari hak dan kehendak rakyat.
Hal ini tentu saja berarti bahwa hukum lahir dalam demokrasi, dibentuk secara partisipatif dan demokratis. Dalam konteks pemilu, tindakan dan keputusan penyelenggara pemilu harus selalu mengacu pada apa yang ditentukan/diperintahkan oleh undang-undang pemilu. Dalam undang-undang ini juga diatur mekanisme untuk memantau perilaku dan kinerja penyelenggara pemilu.
Kedadilan pada Publik
Dalam konteks itu, integritas, etika dan profesionalisme Panitia Pelaksana menjadi faktor kunci. Pelanggaran integritas, etika dan profesionalisme harus ditanggapi dengan serius. Ketegasan DKPP terhadap pelanggaran etik penyelenggara pemilu juga penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu. Masyarakat harus diyakinkan bahwa independensi, netralitas, dan imparsialitas penyelenggara pemilu memang dijamin dan diawasi dengan sistem yang menganut Kode Etik yang berlaku secara adil, tegas, dan tidak diskriminatif.
Apalagi, realita menunjukkan bahwa selama ini opini publik kerap menyatakan ketidakpuasan terhadap sanksi hukum yang diterapkan kepada PNS dalam kasus-kasus tertentu. Sanksi tersebut dinilai tidak memberikan efek jera dan tidak dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat yang dirugikan akibat ulah aparat yang terlibat. Mencapai rasa keadilan merupakan isu inti bagi lembaga publik seperti KPU dan Bawaslu. Mengutip Magnis Suseno (2003), “Pengakuan kewenangan negara oleh masyarakat dalam membuat undang-undang dan menjamin penerapannya merupakan bagian dari hakikat negara. Stabilitas suatu negara tergantung pada pengakuan oleh pemerintah negara.
KPU dan Bawaslu adalah organisasi publik yang menyelenggarakan pemilu. Tentu saja, mereka mengakui bahwa pengakuan dan legitimasi masyarakat merupakan hal mendasar bagi keberadaan mereka. Pengakuan dan legitimasi tentu ditentukan sejauh mana KPU dan Bawaslu mampu bekerja dan bertindak secara profesional, jujur, dan adil. Keadilan adalah hal yang sangat penting dan bermasalah di sini. Ini bermasalah karena KPU dan Bawaslu berhadapan dengan pihak yang berbeda dengan kepentingan masing-masing: partai politik, calon presiden dan wakil presiden, calon legislatif, kelompok sukses, relawan, kelompok pemantau, media dan masyarakat.
Tentu parpol dan caleg ingin memiliki “hubungan baik” dengan KPU dan Bawaslu. Biasanya kelompok atau pendukung kampanye ingin mempengaruhi independensi dan netralitas KPU dan Bawaslu. Di sini, kekuatan moral dan integritas penyelenggara pemilu benar-benar diuji. Masyarakat sipil dan pers akan selalu mengawasinya dari jauh.
Filsuf Yunani Plato pernah menyatakan bahwa kehidupan bernegara yang baik akan tercapai jika masyarakat ditata menurut cita-cita keadilan. Di sini, keadilan bukan hanya bagaimana hak setiap orang dijamin, tetapi bagaimana seluruh masyarakat diselaraskan dan diseimbangkan. Plato menekankan etika nyata dan integritas penyelenggara negara.
Penyelenggara atau pembela negara menurut Plato “harus hidup dengan cara yang tidak membiarkan kepentingan pribadi berkembang. Mereka harus mampu mengatasi keterikatan mereka pada keuntungan pribadi. Soalnya, orang yang menyelenggarakan pemilu juga orang biasa. Dan biasanya manusia juga memiliki kepentingan pribadi atau self interest. Dengan demikian, sejak seleksi dan pemilihan penyelenggara pemilu, unsur integritas, kepercayaan dan ketidakberpihakan selalu didahulukan.
Demikian juga dalam fase pemantauan mereka, integritas, keadilan dan kepercayaan juga menjadi kriteria utama. Hal tersebut hanya dimaksudkan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap proses dan hasil pemilu sebagai pendorong terwujudnya kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi. (*)
Penulis adalah Direktur Rumah Data Sumatera Utara