Oleh: M. Risfan Sihaloho
Secara teoritis, idealnya kekuasaan adalah kewenangan yang di dapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo, 2002)
Sementara wewenang adalah kekuasaan resmi dan kekuasaan pejabat untuk menyuruh pihak lain, supaya bertindak dan taat kepada pihak yang memiliki wewenang itu (Authority is the official and legal right to command by others and enforce compliance).
Sebagai contoh seorang pemimpin kelompok memerintahkan anggotanya untuk melakukan sesuatu. Dan dituruti oleh anggotanya, berarti pemimpin tersebut telah menggunakan kekuasaannya dalam kelompok.
Jadi pada dasarnya, yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi orang lain untuk bersedia untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya. Pada dasarnya, kekuasaan seseorang dalam suatu kelompok berasal dari posisi yang ditempatinya atau yang dimilikinya dalam kelompok tersebut.
Namun, dalam penggunaan kekuasan seorang pemimpin dapat menimbulkan dua dampak yaitu dampak positif dan dampak negatif.
Berdampak positif artinya, kemampuan pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat mempengaruhi dan mengubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan sungguh-sungguh atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental untuk hasil yang baik.
Sedangkan yang berdampak negatif adalah, tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Biasanya kekuasaan bersifat negatif hanya mencari keuntungan pribadi atau golongan di atas kekuasannya itu. Karena mereka tidak memiliki kemampuan atau modal apapun selain kekuasaan untuk menghasilkan.
Hal ini tentu termasuk ke dalam kekuasaan bersifat negatif atau yang biasa kita kenal penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), karena disini seorang pimpinan hanya mencari keuntungan pribadi atau golongan di atas kekuasannya.
Dan dalam perkembangannya, penyalahgunaan kekuasaan tidak cuma dengan kasus koruptif yang menimbulkan kerugian keuangan negara, tapi juga bermakna memanfaatkan segenap wewenang yang dimiliki untuk mengintervensi proses kehidupan demokrasi agar bisa dikondisikan memenangkan kepentingan penguasa itu sendiri.
Dalam konteks kehidupan demokrasi, ternyata upaya mempertahankan status-quo kekuasaan itu lebih krusial ketimbang saat merebutnya. Artinya, kepanikan pihak oposisi yang berambisi merebut kekuasan tidak sebesar kepanikan pihak petahana yang ngotot mempertahankan singgasananya.
Implikasinya, besarnya syahwat petahan untuk melanggengkan kekuasannya membuatnya bertindak secara eksesif dengan cara memanfaatkan kekuasaan yang ada digenggamannya sebagai “alat” untuk mewujudkan ambisinya.
Tentunya, sudah menjadi rahasia umum, adanya intervensi dari kekuasaan terhadap gelaran pemilihan umum selama ini memang kerap terjadi, baik secara kasatmata maupun tersembunyi. Kendati undang-undang mengatur tegas larangan intervensi dari penguasa beserta ancaman sanksinya, namun ‘tangan-tangan’ kekuasaan acap kali bermain dalam menentukan siapa yang menang dan kalah.
Penguasa dan lingkarannya, seakan tak pernah kehilangan akal agar posisi-posisi strategis terpilih adalah yang sesuai dengan kepentingan dan kelompoknya. Atau, bila yang maju adalah petahana, maka ‘tangan-tangan’ kekuasaan dipersiapkan sedemikian rupa demi terpilih kembali.
Mengapa secara institusional negara itu begitu rentan untuk disalahgunakan? Jawabannya adalah, Negara merupakan satu bentuk asosiasi yang paling penting. Negara dianggap sebagai organisasi tertinggi, paling luas, dan memiliki kekuasaan untuk mengatur serta memaksa setiap rakyatnya.
Sebagai sebuah asosiasi tertinggi, negara memiliki beberapa sifat pokok yang tidak dimiliki oleh asosiasi lain. Sifat-sifat tersebut dinamakan sifat hakikat negara. Sifat hakikat negara antara lain sifat memaksa, sifat monopoli, dan sifat mencakup semua.
Pertama, Negara memiliki sifat memaksa. Artinya, negara memiliki kekuasaan yang sah untuk memaksa setiap rakyatnya tunduk terhadap peraturan yang ada. Bahkan, negara disahkan menggunakan kekerasan atau hukuman bagi mereka yang tidak tunduk terhadap peraturan. Hal ini dilakukan agar dapat menciptakan kondisi yang aman dan tertib serta mencegah munculnya tindakan anarki.
Kedua, Negara memiliki sifat monopoli dalam menentukan suatu peraturan. Hal ini dilakukan untuk mencegah beredarnya paham perseorangan atau golongan yang mungkin akan membahayakan kehidupan negara. Contohnya negara dapat melarang beredarnya suatu aliran kepercayaan atau aliran politik karena dianggap bertentangan dengan pandangan hidup bangsa.
Ketiga, sifat mencakup semua. Hal ini berarti setiap peraturan negara berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali. Kewenangan negara mencakup semua segi kehidupan warga termasuk pengaturan mengenai kedudukan, hak, dan kewajiban negara, hubungan antarnegara dalam bidang hukum, politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Sifat-sifat inilah yang membedakan negara dengan asosiasi lain.
Selain itu, negara memiliki kekuasaan tertinggi yang berdaulat baik ke dalam maupun ke luar. Kedaulatan ke dalam atau internal berarti negara memonopoli kekuasaan di dalam wilayahnya tanpa ada kekuasaan lain yang dapat menandinginya. Kekuasaan apapun yang terdapat di dalam suatu negara harus patuh pada kekuasaan yang berdaulat. Kedaulatan ke luar atau eksternal berarti negara tidak terikat dan tunduk pada kekuasaan lain, kecuali pada ketentuan-ketentuan yang telah disetujui.
Lazimnya, para pelaku penyalahgunaan kekuasan tidak lain adalah mereka yang memang berada dalam lingkar kekuasaan. Artinya, mustahil penyalahgunaan kekuasaan dilakukan oleh mereka yang tuna kuasa.
Penyimpangan politik tidak hanya di lakukan saat menjadi pejabat saja, namun dilakukan saat mencalonkan diri dan bersaing saat kampanye, misalnya langkah-langkah yang di ambil dengan politik uang, dimana pihak yang mecalonkan diri memberikan uang, barang dan akses publik ke masyarakat , guna mendapat simpati dari rakyat, agar lebih banyak yang memilihnya. Hal ini telah membudaya dan mengakar saat waktu berkampanye.
Kemudian gemar umbar janji, tetapi tidak di tepati. Kenyataanya di lapangan saat kampanye banyak calon-calon yang memberikan janji, namun kenyataanya setelah menjadi pejabat janji tersebut hanyalah omong-kosong belaka.
Selain itu melakukan penyerangan terhadap calon lain, seperti menjelek-jelekkan lawanya sehingga mendapat kesan buruk di mata masyarakat.
Dari kasus-kasus di atas upaya pemerintah dan petinggi lembaga dalam menanggulangi penyimpangan politik dan penyalah gunaan kekuasaan dengan cara melakukan pengendalian sosial dari pemerintah dan petinggi lembanga dengan menciptakan peraturan peraturan yang bijak dan tegas, melakukan pengawasan terhadap anggotanya, dan jika ada yang melanggar di berikan sanksi yang berat.
Penutup
Tentu sangat disayangkan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat malah disalahgunakan untuk mencari kekayaan dan mencederai kehidupan demokrasi dengan menggunakan kekuasaan yang telah di amanahkan rakyat kepadanya.
Ini juga dapat menjadi pelajaran bagi kita, jika ingin memilih pemimpin pilihlah pemimpin dengan akhlak yang baik. Karena apa, jika seorang pemimpin memiliki akhlak yang baik otomatis dia tidak akan mengkhianati amanah dari rakyat yang memilihnya. Semoga. (*)