Beda Negarawan dan Politisi
Secara teoritis, seorang politisi dapat dikatakan matang jika dia sudah mampu meraih derajat negarawan. Lantas, apa sebenarnya beda politisi dengan negarawan ?
Penulis Amerika James Freeman Clarke mengatakan, bahwa perbedaan antara politisi dan negarawan adalah politisi memikirkan tentang pemilu berikutnya sedangkan negarawan berpikir tentang generasi berikutnya. Dengan demikian, seorang pemimpin negarawan akan dapat dilihat dari pandangan-pandangannya yang mempunyai komitmen tinggi terhadap kepentingan bangsa jauh ke depan.
Negarawan adalah orang yang rela berkorban secara tulus demi keutuhan dan kemajuan bangsanya, juga ikut serta secara aktif dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Dia bukanlah orang yang menghitung-hitung untung rugi ketika tenaga dan pemikirannya dibutuhkan oleh negara.
Negarawan juga bukan orang yang memilih untuk tutup mata saat kemiskinan dan ketidakadilan terjadi di hadapannya. Pandangannya dapat dilihat dari visi yang jelas tentang arah ekonomi, politik, keamanan dan pendidikan yang akan dia kembangkan. Visi yang dimilikinya adalah visi yang melihat jauh ke depan. Dia bukanlah sosok yang mementingkan kepentingan sesaat demi citra pribadi serta golongannya.
Karakter negarawan sejati bisa dibuktikan secara langsung ketika kursi kekuasaan telah dia dapatkan, bertindak sebagai pemberi solusi yang fokus mensejahterahkan rakyatnya demi membawa bangsa dan negara menjadi terhormat dan disegani.
Seorang negarawan selalu memikirkan bagaimana strategi regenerasi bagi calon pemimpin yang akan meneruskan estafet kepemimpinan berikutnya, selain diusung sebagai calon, seorang negarawan juga akan mempersiapkan kapasitas dan kapabilitas dari pemimpin yang akan menjadi penerusnya.
Terkait hal tersebut, kiranya saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi krisis negarawan di tengah muncul gerombolan politisi pragmatis yang hanya berorientasi pada kekuasaan guna memenuhi kepentingan diri mereka. Hal ini semakin di perparah oleh mekanisme rekrutmen partai politik yang buruk. Kaderisasi parpol tidak berjalan, sehingga hal yang tampak bahwa untuk menjadi pejabat publik melalui mekanisme Pemilu dan Pemilukada, seseorang harus menyediakan sejumlah uang untuk menjadi politisi tersebut.
Dampaknya adalah meningkatnya jumlah politisi dengan jiwa kepemimpinan yang lemah, korup dan tidak memiliki visi untuk membangun bangsa dan negara.
Harus dipahami, bahwa puncak masalah ini adalah kepemimpinan yang mengalami masalah serius. Walaupun banyak pemimpin yang dihasilkan dalam setiap Pemilu yang dilaksanakan, namun sedikit sekali yang menjadi negarawan.