TAJDID.ID-Medan || Pemerhati sosial-politik FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) mengatakan kebanyakan politisi di republik ini memiliki kecenderungan berpikiran teknokratis (technocratic-minded).
“Ya. Ini adalah sebuah kesimpulan yang saya petik dari pengalaman yang cukup panjang berinteraksi dengan banyak politisi yang merencanakan berkontestasi merebut legitimasi kepemimpinan pemerintahan pada berbagai level,” ujar Shohibul di Medan, Senin (2/9).
Menurut Ketua Lembaga Hikmah dan Kajian Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumut ini, ada beberapa ciri dari para politisi berpikiran teknokratis tersebut, diantaranya;
Pertama, para politisi itu amat suka bernarasi dengan penekanan aspek teknokratis belaka. Mereka sangat ingin dikesankan sebagai pembawa jawaban living reality yang membelit kehidupan rakyat.
“Bahkan, terkadang mereka kehilangan bumi berpijak, karena ingin dikesankan sim wa salabim,” kata Koordinator n’BASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya) ini.
Kedua, mereka kerap menjadikan pengorganisasian data dari jejak pemerintahan masa lalu untuk bahan cacian, halus mau pun kasar, sambil berharap memetik pertambahan nilai kepercayaan publik.
“Tentu, perilaku seperti ini amat tak ksatrialah memang,” tandasnya.
Ketiga, tahu sesuatu tak bisa dihadirkan solusinya karena sistemik dan kasep-masep, tetapi tetap saja berusaha merumuskan sesuatu pada tingkat angan-angan. Contoh soalnya tentang pemberantasan korupsi.
Keempat, mereka sangat rentan termakan oleh tumpukan pengalaman observatif mereka baik melalui informasi maupun hasil pengalaman empiris mengunjungi berbagai tempat di dunia, sehingga muncul keinginan menyusun sebuah daftar keinginan.
“Ironisnya, daftar keinginan ini sangat identik dengan pengingkaran atas realitas masyarakatnya,”.ungkapnya.
Kelima, mereka memiliki watak materialistik. Tingkat filosofi yang ala kadarnya melahirkan hal-hal material yang amat dangkal, bahkan berpotensi bahaya memerosotkan kadar kemanusiaan yang utuh.
Mungkin, kata Shohibul, ini dilema khas dunia ketiga yang bekas jajahan, dimana ada rasa takut untuk menjadi diri sendiri.
Parahnya lagi, Shohibul melihat tak ada lontaran wacana teosentrisme yang mereka suguhkan untuk mengkerangkakan kekokohan prinsip tafaqquh fiddien wa tafaqquh finnas (taat kepada agama dan setia kepada rakyat)
“Lantas, jika hanya manusialah ukuran buat segalanya (man is the measurer of all things), maka sempurnalah jalan sesat yang mereka tawarkan,”.pungkasnya. (*)
Liputan: MRS