Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Helicopter view adalah istilah yang merepresentasikan tentang cara melihat seluruh sistem dari berbagai aspek (tidak terpaku dalam 1 aspek) sehingga dapat menghasilkan keputusan terbaik untuk masalah.
Belakangan ini saya cukup resah melihat kajian-kajian keagamaan tertentu pada media sosial dengan tren tepuk dada yang kelihatannya juga sekaligus seakan sebagai salah satu dalih rasionalisasi hak caci atas keberadaan orang atau kalangan lain.
Cukup subur perkembangan kelompok tikai dan ufuk-ufukan ini. Tuduhan pun berseliweran. “Antum ahli surga atau neraka?”, begitu antara lain kesengitan saling tuding itu.
Saya sungguh pujikan tipe suluh besar seperti Syaikh Abdul Somad, Adi Hidayat, Gus Baha dan tokoh lain yang bahkan mungkin lebih hebat dan lebih piawai serta lebih bijak dari mereka.
Tentu dengan memujikan sejumlah nama saya tak sekaligus ingin merendahkan yang lain, baik yang namanya sebetulnya bisa saya sebut dan yang tak saya ketahui. Maafkan keterbatasan saya ini.
Selama ini kekuatan struktural nasional dan internasional terkesan cuma ribut soal takfiri dalam kaitannya tunggalnya dengan legitimasi palsu war on terrorism berpangkal Islamofobia, dan cenderung ingin menyembunyikan masalah lebih serius lainnya.
Tragedi lain sebagai konsekuensinya malah muncul keberanian politik orang awam “mengadili” pertikaian. Baik yang akhirnya menyelundup pada kebijakan (policy) mau pun yang seakan terus dipelihara berkeliaran untuk meremehkan kesejatian keberagamaan di tengah bentrokan berlanjut dalam tragedi besar sekukarisasi. Astaghfirullah.
Rasulullah telah meninggalkan warisan al Quran wa sunnah. Tetapi tak ayal 4 mazhab dominan pun melembaga.
Ijtihad ke-4 imam itu tentulah capaian kualitas dengan obsesi pembentukan khaira ummah. Karena itu taklah perlu mendramatisasi ijtihad-ijtihad yang berbeda di antara para fuqaha dan pemimpin atau otoritas-otoritas sah lainnya.
Atau kalau pun pada abad XXI ini ada orang yang merasa mampu menyamai atau mengalter kapasitas imam yang 4 untuk mensahkan sebuah perasaan telah tiba pada kualitas capaian kedekatan dengan tauladan tunggal (Rasulullah Muhammad Shallaalahu Alaihi Wasallam), sebaiknya simpanlah perasaan itu sebagai milik sendiri. Ihdina ya Allah. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU dan Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut.