TAJDID.ID~Medan || Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara, Shohibul Anshor Siregar mengatakan, sistem demokrasi perwakilan yang sekarang berlaku di Indonesia berwajah sentralistik dan oligarkis. Akibatnya peran para anggota DPR dan DPD yang duduk di Senayan tidak efektif dalam rangka memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah yang mereka wakili.
Sebagai contoh, ia menyebut tiga puluh orang direkrut melalui partai dan 4 orang dari elit untuk mewakili Sumatera Utara di Jakarta.
“Mereka ada di pusat kekuasan pengambil kebijakan, sebagai anggota DPR RI dan anggota DPD RI. Tetapi mereka tak bekerja untuk daerah,” ujar Shohib dalam Diskusi Publik bertajuk ‘Pemuda dan Mahasiswa Menatap 2024, Kontroversi Penundaan Pemilu’ yang diselenggarakan DPD IMM Sumut Bidang Hikmah dan Kebijakan Publik di Stadion Cafe, Medan, Ahad (17/4).
Dalam mekanisme pengambilan kebijakan, kata Shohib, seharusnya mereka berperan penting. Tetapi karena sistem demokrasi sentralis dan oligarkis, mereka harus merelakan nama mereka sekadar menjadi daftar di lembaga-lembaga tinggi negara.
“Saya tak mengharapkan mereka berjuang menuntut perubahan bentuk negara dari unitaris ke federalis sebagaimana diperjuangkan Maluddin Simbolon dan PRRI/Permesta. Tetapi sentralisme ini sangat membosankan dan tak menjanjikan apa-apa untuk kesejahteraan rakyat,” ungkap Dosen FISIP UMSU ini.
Baca juga:
Mengingat kembali latar belakang otonomi daerah yang digagas pada zaman Gus Dur oleh tokoh-tokoh akademis seperti Ryaas Rasyid, Shohib menilai harapan untuk mengakomodasikan kepentingan daerah sudah kandas sama sekali.
“Otonomi daerah itu sendiri sudah berwajah sangat sentralistik,” sebutnya.
Menurut Shohib, jika mahasiswa unjukrasa ke DPR tanggal 11 April 2022 yang lalu, secara teoritis mereka ingin lembaga DPR berdiri pada kapasitas pembelaannya kepada rakyat, maka sesungguhnya mereka mengabaikan satu hal, yakni teori tidak sama dengan praktik.
“Keperwakilan yang kita miliki saat ini adalah perpanjangan tangan akomodasi kepentingan elit-elit partai,” katanya.
“Mereka sudah berada di lapangan dan berdarah saat menuntut dibatalkannya RUU Ciptakerja, RUU revisi kelembagaan KPK dan lain-lain. Seharusnya mereka sadar tidak ada sesuatu yang bisa diharapkan dari DPR karena koalisi terpimpin sudah menjamin pikiran mengalter pemerintah tidak akan pernah muncul,” imbuhnya.
Sebetulnya, lanjut Shohib, tragedi demokrasi itu sudah berlangsung sepanjang sejarah Indonesia, dan diperkokoh melalui Maklumat X Muhammad Hatta untuk pembentukan partai-partrai mengikuti pemilu pertama 1955 yang memastikan bahwa keperwakilan hanya diisi dari orang-orang parpol.
Menurutnya, salah satu akar masalah demokrasi politik ini ada pada bentuk perwakilan yang tidak merepresentasikan kepentingan rakyat. Karena itu legalframeworknya wajib direvisi secara radikal.
Baca juga: Urgensi Merombak Legalframework Demokrasi dan Politik Indonesia
“Jalan untuk itu ialah menambah jumlah anggota perwakilan untuk semua tingkatan (DPR-RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten dan DPRD Kota) yang didudukkan sebagai utusan organisasi-organisasi jihadis pendiri negara (Muhammadiyah, NU dan lain-lain), wakil daerah dan golongan, utusan organisasi berintegritas, baik profesi mau pun yang lain,” sebutnya.
“Dengan begitu kebijakan pemerintah bisa dikontrol dengan baik, dan perumusannya pun benar-benar dapat lebih pro rakyat. Hanya dengan begitu cita-cita kemerdekaan Indonesia dapat didekati lebih realistis, yakni menghapuskan segala bentuk penjajahan, melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut dalam upaya ketertiban dunia,” tambahnya lagi.
Dikatakannya, demokrasi tidak perlu seragam mengikuti ajaran Amerika atau Eropa, karena substansinya adalah kehendak bersama atas dasar kesepakatan yang dilalu dengan konsultasi yang sehat.
“Jalan itu akan menyelamatkan Indonesia, sembari menantang oligarki lokal, nasional dan internasional. Harap disadari bahwa kebebasan memilih jalan memajukan diri sendiri memprasyaratkan kemandirian sebagaimana ditegaskan dalam doktrin Trisakti Bung Karno (politik, ekonomi dan nilai budaya),” jelasnya.
Shohib menegaskan, tidaklah sah dinyatakan sebagai negara merdeka jika Indonesia menjadi satelit belaka bagi negara pendikte.
“Karena itu, membebaskan diri dari dikte-dikte itu adalah agenda besar Indonesia, selain mengikis praktik penjajahan oleh bangsa sendiri, dan status istimewa sekelompok kecil penguasa ekonomi yang menentang distribusi adil dan makmur sebagaimana diinginkan oleh Pancasila,” tutupnya. (*)