Pak Buat tetap belum sudi untuk melapangkan hatinya. Dia belum siap berdamai dengan masalah yang dihadapinya. Dia rela menuruti kemauan istrinya untuk datang ke hajatan pernikahan putri Pak Carik, karena tidak mau mengecewakannya. Pak Buat tidak ingin hubungan dengan istrinya juga renggang. Saat hadir di pagelaran, sebisa mungkin muka masam tidak dia tunjukan. Dia berusaha memberikan senyuman manis kepada keluarga Pak Carik dan Pak Kuwu. Pak Buat berusaha membaur dalam acara pernikahan putri Pak Carik. Bahkan panitia acara sengaja memberi tempat di bagian depan untuk Pak Buat bersama dengan para penggede desa. Pak Buat langsung bisa menatap Pak Carik dan Pak Kuwu di depan mukanya. Pak Buat berusaha menunjukan tatapan bersahabat kepada kedua orang yang memiliki hajat. Pak Buat tidak ingin membuat ulah, sehingga istrinya menjadi malu. Sebisa mungkin Pak Buat bersandiwara, seolah-olah dia sudah rujuk dengan para penggede yang lain. Para kawula dan penggede disapa dan disalami satu per satu. Pak Buat ingin memunculkan kesan bahwa dia telah memulai menyambung tali silaturahmi dengan para penggede desa.
Pak Buat berupaya memulai pembicaraan dengan kamituwo dan jagabaya yang duduk di sampingnya. Dia berusaha memancing perbincangan dengan basa-basi dan senyuman, agar kedua penggede desa kembali dekat dengan Pak Buat. Perbincangan justru berlangsung dengan kaku. Kamituwo dan jagabaya hanya mengiyakan setiap pernyataan dari Pak Buat. Muka kedua penggede desa terlalu lempeng dan tatapannya pun terlihat kecut. Kedua penggede desa merasa canggung dengan perbincangan dengan Pak Buat di acara hajatan itu. Maklum selama ini mereka hanya saling berbincang di forum rembugan desa, itupun semua yang dibicarakan sudah diberi arahan terlebih dahulu oleh Pak Kuwu. Para penggede jarang ngobrol kesana kemari pada acara informal seperti pada hajatan pernikahan anak Pak Carik. Pak Buat sudah memberanikan diri untuk bermain drama, seolah-olah dia akrab dengan kamituwo dan jagabaya.
Pak Kuwu dan Pak Carik melihat perbincangan ketiga penggede desa dengan rasa heran dari atas panggung. Pak Carik dan Pak Kuwu bertanya-tanya bagaimana mungkin Pak Buat bisa akrab dengan kamituwo dan jagabaya, padahal selama ini mereka menjaga jarak satu sama lain. Bagaimana mungkin dalam sekejap mata, para penggede terlihat akur. Pak Carik sampai geleng-geleng dan dalam hatinya bertanya mengapa Pak Buat dapat hadir di acara pernikahan putrinya. Pak Carik tidak merasa mengundang Pak Buat dalam acara itu. Pak Carik menjadi takut kalau nanti Pak Kuwu memarahinya selepas acara. Pak Kuwu juga masih memendam rivalitasnya dengan Pak Buat dan sama sekali tidak ada niat untuk mengakhiri persaingan itu.
Momentum foto bersama pengantin telah tiba. Giliran Pak Buat dan Bu Rina yang naik ke atas panggung. Pak Buat berdiri di samping Pak Kuwu, sedangkan Bu Rina berada di samping istri Pak Carik. Hati Pak Buat jedag-jedug dengan kesempatan yang sangat langka itu. Jarang sekali dia bisa berada dekat dengan Pak Kuwu. Pak Buat sampai tidak berani menatap mata Pak Kuwu, karena masih menahan malu dan kekalutan. Pak Kuwu pun sebenarnya merasa risih dengan keberadaan Pak Buat di sampingnya. Sesi foto bersama pengantin telah dilakukan.
Pak Buat dan Bu Rina lalu bersalaman dengan pengantin dan keluarganya. Pak Kuwu menyalami Pak Buat dengan perasaan dongkol. Kata orang, saling berjabat tangan akan menggugurkan kesalahan masing-masing. Akan tetapi, di dalam sanubarinya baik Pak Buat dan Pak Kuwu masih ngerundel. Masing-masing masih belum bisa menghentikan rivalitasnya. Saat bersalaman dengan Pak Carik, perasaan Pak Buat sedikit lega. Perasaan bermasalah dan rasa malu masih muncul dalam nurani Pak Buat, karena dia datang ke hajatan tanpa diberi undangan terlebih dahulu. Bu Rina dan Pak Buat lalu pamit pulang kepada kedua pengantin. Bu Rina sudah merasa plong. Bu Rina mengira dirinya telah berhasil menjalankan amanat dari istri para penggede desa untuk menjadikan acara pernikahan putri Pak Carik sebagai momentum menyambung silaturahmi. Bu Rina sama sekali tidak mengetahui bahwa yang dilakukan suaminya hanya pura-pura saja. Beginilah kehidupan yang bagaikan panggung sandiwara. (*)
Anggalih Bayu Muh Kamim. Lahir di Sleman pada 14 Juni 1997. Besar dari lingkungan yang sedang mengalami perubahan agraria secara massif membuatnya sering menulis mengenai masalah petani, agraria, lingkungan, ekonomi sumber daya alam dalam berbagai esai, artikel ilmiah, karya tulis ilmiah maupun karya sastra sebagai wujud refleksi atas apa yang terjadi di sekitarnya. Kini sedang menikmati masa-masa menjadi penulis independen.