Kemudian Herlambang menjelaskan, pilihan istilah neo-authoritarianism merujuk pada defenisi yang diutarakan He li dalam bukunya “Political Thought and China’s Transformation (2015)”: “an enlightened autocracy: a strong leader adopts undemocratic mesures to enforce economic develoment”. Artinya, sebuah otokrasi yang tercerahkan: seorang pemimpin yang kuat mengadopsi langkah-langkah yang tidak demokratis untuk menegakkan pembangunan ekonomi.
“Jadi jangan bayangkan otoritarianisme dua dekade pasca Soeharto jatuh itu sama dengan otoritarianisme masa Soeharto. Itu beda, mulai dari cara, , partainya beda, dan model yang dikembangkan dalam strateginya pun beda, termasuk dalam menangguk keuntungan dalam proses-proses representasi formal ketatanegaraan,” bebernya.
Herlambang menuturkan, refleksi yang dapat ditangkap terkait wacana penundaan pemilu adalah bahwa hal itu perlu dijelaskan tidak hanya dari sudut pandang hukum semata, tapi juga pendekatan ekonomi politik yang mengatakan bahwa hukum ketatanegaraan disubordinasi oleh kepentingan kekuasan dominan, yang pada akhirnya justru memberi jalan kekuasaan yang kian otoriter dalam makna barunya (neo-authoritarianism politics)
“Lantas kenapa hal ini terjadi dan berulang? Karena memang situasi yang terjadi adalah terkonsolidasinya sistem kuasa oligarki melekat dalam representasi formal ketatanegaraan yang kian menguatkan sistem politik kartel (cartelized political system) sehingga melumpuhkan proses-proses demokratisasi dan negara hukum,” jelasnya.
Jadi, kata Herlambang, narasi usulan 3 periode dan penundaan pemilu bila diteruskan sesungguhnya kian menjelaskan relasi kuasa politik otoritarianisme dengan cara/watak hukumnya yang legalisme otokratik.
“Makna dari watak berhukum yang legalisme otoktaratis adalah dia tidak lagi memusingkan soal formal prosedurnya. Jadi pemikir tata negara (Yusril dan Agus-red) yang memberikan jalan itu, menurut saya itu hanya sebuah santapan atau sarapan yang paling dinikmati, karena diberi jalan oleh para ilmuan untuk menangguk keuntungan dari proses penundaan pemilu dan gagasan itu sebenarnya tidak memberi makana demokratisasi,” tegasnya.
Terkait hal itu, Herlambang mengatakan sebenarnya bangsa Indonesia sudah punya pengalaman kurang baik, misalnya saat Revisi UU KPK dan pengasahan UU Omnibuslaw.
“Itu memperlihatkan betapa ugal-ugalannya dalam proses pembentukan hukum, sehingga misalnya hari ini penundaan pemilu itu terjadi maka tanpa rasa keterkejutan sebenarnya ini adalah bagian dari krisis konstitusionalisme dan demokrasi politik.” tutupnya. (*)
Berita terkait:
- Hamdan Zoelva: Skenario Penundaan Pemilu itu Rampas Hak Rakyat
- Titi Anggraini: Hentikan Narasi Presiden 3 Periode dan Penundaan Pemilu
- Muhammadiya Sumut: Usulan Penundaan Pemilu 2024 Dorong Pelanggaran Konstitusi
- Ketum PBNU Sebut Usulan Penundaan Pemilu 2024 Masuk Akal
- Setelah PKB dan PAN, Golkar Beri Sinyal Dukung Penundaan Pemilu 2024
- Setuju Pemilu 2024 Diundur, Pertimbangan PAN Mulai dari Pandemi Hingga Survei Kepuasan terhadap Jokowi