TAJDID.ID || Penggiat pemilu Titi Anggraini menegaskan, bahwa tidak dikenal terminologi penundaan pemilu karena alasan atau pertimbangan menjaga stabilitas ekonomi.
“Dan saya udah melakukan riset, ternyata itupun tidak ditemukan di negara-negara lain,” ujar Titi Anggraini di Chanel Youtube pribadinya yang diunggah Jum’at (25/2).
Titi Anggraini menuturkan video bahasan singkat tentang dampak pemilu terhadap ekonomi dan aspek hukum penundaan pemilu itu dibuatnya sebagai reaksi kegemasannya atas pernyataan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang melontarkan pernyataan mengusulkan penundaan pemilu pada Rabu (23/2/2022), tepat seminggu setelah KPU meluncurkan hari pemungutan suara Pemilu 2024 yang diputuskan berlangsung pada Rabu, 14 Februari 2024,
Dalam video tersebut ia menanggapi secara gambalang dan lugas usulan yang dilontarkan Muhaimin Iskandar yang merupakan kelanjutan dari pernyataan Bahlil Lahadalia (Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal) beberapa waktu sebelumnya yang mengatakan adanya permintaan dunia usaha untuk memastikan stabilitas pertumbuhan ekonomi atau menjaga konsistensi pertumbuhan ekonomi di tengah masa pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi covid 19 maka Pemilu 2024 sebaiknya ditunda.
“Katanya sih karena sekarang kita lagi recovery ekonomi, maka pemilunya ditunda saja. Berarti kan mengasumsikan pemilu itu mempengaruhi kondisi ketahanan ekonomi kita,” ujar Titi Anggraini.
“Apa iya pemilu bisa ditunda karena ingin menjaga stabilitas ekonomi? Bagaimana UU Pemilu dan Konstitusi kita mengaturnya?,” tanyanya lagi.
Mengitip hasil riset yang ditulis Prachi Juneja dalam artikel “Management Study Guide, How Elections Impact The Economy?”, Titi Anggraini menyimpulkan bahwa memang ada dampak pemilu terhadap ekonomi, tapi itu lebih kepada pertimbangan bisnis.
“Sementara pemilu adalah agenda rutin lima tahunan sebagai aktualisasi kedaulatan rakyat, dimana rakyat diberikan hak untuk menentukan siapa pemimpin yang ia pilih. Tentu dengan pertimbangan kita sebagai rakyat akan memilih pemimpin yang memiliki kemampuan dan diharapkan bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik,” sebutnya.
Kemudian ia mengingatkan kembali peristiwa Pilkada Serentak tahun 2020, yang mana pada waktu itu banyak kelompok masyarakat yang menolak pilkada serentak itu dilaksakan dengan alasan pandemi. Namun pada waktu itu pemerintah bersikeras dengan rencananya, dan melalui Mendagri Tito Karnavian pada waktu melontarkan sebuah pernyataan, bahwa Pilkada Serentak akan gerakkan perekonomian daerah.
“Kalau pilkada saja bisa, apalagai pemilu? Pertanyaanya kan gitu,” ujar Anggraini.
Tinjauan Kerangka Hukum Pemilu
Selanjutnya, dari perspektif kerangkaan hukum pemilu, Titi Anggraini mengungkapkan bahwa Pemilu memang dimungkinkan untuk ditunda, tapi terminologinya Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan.
Ia menjelaskan, pada Pasal 431 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan; “Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah Negara kesatuan republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksakan, dilakukan Pemilu lanjutan“
Kemudian Pasal 432 ayat (1) UU No 7 Tahun 2017 menyebutkan; “Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah Negara kesatuan republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksakan, dilakukan Pemilu susulan,“
Lalu terkait prosedur penundaan pemilu diatur dalam Pasal 433 UU No 7 Tahun 2017;
(1) Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan dilaksanakan setelah ada penetapan penundaan pelaksanaan Pemilu.
(2) Penetapan penundaan pelaksanaan Pemilu dilakukan oleh:
a. KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kelurahan/desa;
b. KPU Kabupaten/Kota atas usur ppK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kecamatan;
c. KPU Provinsi atas usul Kpu Kabupaten/Kota apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu – atau beberapa kabupaten/kota; atau
d. KPU atas usul KPU Provinsi apabila pelaksanaan pemilu lanjutan atau susulan meliputi satu atau beberapa provinsi.
(3) Dalam hal Pemilu sebagaimana dimakssud dalam pasal 431ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) tidak dapat dilaksanakan di 40 % (empat puluh persen) jumlah provinsi dan 50 % (limapuluh persen) dari jumlah Pemilih terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih, penetapan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usul KPU.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan waktu pelaksanaan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan diatur dalam peraturan KPU.
“Terus terang sampai sekarang belum ada peraturan KPU yang detil mengatur soal prosedur atau mekanisme sehingga bisa dilakukan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan,” ungkapnya.
Titi Anggraini melihat peran KPU sangat besar. Artinya menurut UU Pemilu kalaupun semua ketua Parpol sepakat pemilu diundur bukan berati pemilu ditunda
“Mestinya KPU membuat peraturan KPU khusus yang menerjemahkan bagaimana prosedur dan mekanisme dalam hal terjadi situasi seperti yang dimaksud di pasal 431 dan 432 dan 433 UU pemilu itu,” katanya.
“Nah, kalau kita lihat UU Pemilu ada gak sih mekanisme penundaan pemilu karena kondisi ekonomi? ternyata tidak ada ! Kecuali kalau negara tidak ada uangnya” tegas Anggraini.
Konstitusional Jadwal Pemilu
Selain pertimbangan UU Pemilu, menurut Titi Anggaini juga perlu merujuk kepada konstitusionalitas Jadwal Pemilu. Karena menurutnya UUD 1945 sudah “mengunci” keberkalaan dan kereguleran jadwal pemilu.
“Pasal 7 UUD 1945 mengatakan Presiden dan Wakil Presdiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya apa? Artinya masa jabatan Presiden itu tidak lebih dan tidak kurang lima tahun,” katanya.
“Ditambah lagi Pasal 22E (1) UUD 1945 menyatakan, Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Artinya kalau masa jabatan presiden sudah berakhir, maka wajib dilaksanakan pemilu,” imbuhnya.
Karena itu, Titi Anggraini meminta semua pihak, terutama pejabat publik untuk menjaga budaya berkonstitusi dengan konsisten, serta berkomitmen penuh dalam melaksanakan agenda demokrasi yang telah digariskan UUD secara tegas.
“Dengan telah diputuskannya hari pemungutan suara pemilu 2024, semua pihak seharusnya menghentikan narasi presiden 3 periode ataupun penundaan pemilu. Selain kontraproduktif dengan berbagai persiapan pemilu yang sudah dilakukan, juga dapat memberikan citra buruk kinerja demokrasi Indonesia di mata internasional. ,” tegasnya.
“Selain itu juga bisa memperburuk polarisasi disintegratif di tengah masyarakat yang sudah mengalami kemerosotan civic culture akibat pilpres 2019,” pungkasnya. (*)