TAJDID.ID || Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Herlambang P Wiratraman mengatakan, upaya pemaksaan penundaan pemilu bukanlah cerminan cara berhukum yang baik. Alasannya, selain tidak demokratis dan tidak legitimed, situasi politiknyapun sekarang dalam cengkraman oligarki.
Herlambang mengatakan hal tersebut dalam Diskusi Publik Pusat Media dan Demokrasi, LP3ES dengan tema “Menunda Pemilu, Membajak Demokrasi”, Selasa (1/3/2022).
Karena itu, peneliti LP3ES ini kemudian melontarkan kritik terhadap pendapat dua pemikir Hukum Tata Negara Indonesia, yakni Yusril Ihza Mahendra dan Agus Irwanto terkait wacana penundaan Pemilu 2024 yang hangat jadi perbincangan publik belakangan ini. Dia menilai pemikiran Yusril dan Agus terlalu formalisme prosedur dan terkesan menawarkan legitimasi penundaan pemilu.
Diketahui, dalam keterangannya yang diberitakan sejumlah media, Yusril mengatakan mekanisme penundaan Pemilu tidak memiliki dasar hukum yang diatur dalam konstitusi atau UUD 1945. Dan Yusril mensinyalir penundaan pemilu akan membuat timbulnya pemerintahan yang ilegal, sebab dilakukan oleh penyelenggara negara yang tidak memiliki dasar hukum.
“Namun setelah itu Yusril mengatakan ada tiga cara yang perlu ditempuh jika ingin mewujudkan penundaan Pemilu, yakni amandemen UUD 1945, pengeluaran dekrit Presiden dan menciptakan konvensi ketatanegaraan yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara,” kata Herlambang.
Baca juga: Yusril: Penundaan Pemilu Potensial Timbulkan Konflik Politik
Sedangkan Agus Riwanto, menulis sebuah opini di sebuah media nasional dengan judul “Hukum Penundaan Pemilu” menyebut situasi tidak memungkinkan untuk menunda Pemilu.
“Betul bahwa ada situasi yang tidak memungkinkan untuk menunda Pemilu, tapi dalam artikel yang ditulisnya ia (Agus Riwanto-red) menawarkan legitimasi penundaan, yakni melalui amandemen dan atau Yudicial Review ke Mahkamah Konstitusi.,” katanya.
Herlambang mengatakan, intinya dua pemikir hukum tata negara itu (Yusril dan Agus-red) ingin mendiskripsikan cara atau jalan keluar.
“Menurut hemat saya kelihatannya baik, memberikan jalan keluar. Tapi masalahnya, mengapa cara berpikirnya formalisme prosedur? Mengapa tidak memikirkan desain ketatanegaraan yang merefleksikan misalnya lebih modern, visi republik dan refleksi hukum demokratis?,” sebut Herlambang.
“Jadi kalau mau mengamandemen konstitusi itu tidak sekedar untuk penundaan pemilu, tapi mestinya bagaimana mendorong konstitusi itu lebih merefleksikan negara hukum demokratis,” tegasnya.
Herlambang merasa heran, mengapa tiba-tiba keinginan ingin memberikan jalan keluar itu karena urusan soal penundaan pemilu.
“Saya kira kita sudah cukup paham proses-proses untuk penundaan Pemilu ini sangat mencerminkan proses yang sangat tidak demokratis, karena alasannya tidak legitimed dan situasi politiknyapun dalam cengkraman oligarki. Dan ini bukan cerminan cara berhukum yang baik kalu memaksakan penundaan pemilu,” sebutnya.