TAJDID.ID~Medan || Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Utara Dr Abdul Hakim Siagian SH MHum turut menyoroti kontroversi pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang mengklaim kehadiran Kemenag dalam kabinet pemerintahan Indonesia sebagai hadiah dari negara khusus untuk NU, bukan untuk umat Islam secara keseluruhan penting menarik untuk dicermati.
Menurut Abdul Hakim Siagian, salah -satu yang menggelitik untuk dikonfirmasi lebih lanjut adalah tentang argumentasi historis sejarah asal usul Kementerian Agama yang disampaikan Yaqut.
Seperti disampaikan Yaqut dalam acara Webinar Internasional Peringatan Hari Santri 2021 RMI-PBNU, Sabtu (23/10/2021), bahwa kehadiran Kemenag dalam kabinet pemerintahan Indonesia sebagai hadiah dari negara khusus untuk NU, bukan untuk umat Islam.
“Kenapa Kementerian Agama disebut hadiah negara untuk NU? Karena, menurutnya Kemenag muncul atas dasar pencoretan 7 kata dalam Piagam Jakarta yaitu Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” ujar Yaqut.
Dan menurut Yaqut yang mengusulkan itu menjadi juru damai ialah orang PBNU, sehingga kemudian lahir Kementerian Agama.
“Nah wajar sekarang kalau kita minta Dirjen Pesantren kemudian kita banyak mengafirmasi pesantren. Dan santri juga jam’iyah… saya kira wajar-wajar saja, wajar-wajar saja, tidak ada yang salah,” sebut Menag Yaqut, menyinggung usulannya agar dibentuk Direktorat Kepesantrenan di Kemenag.
Menurut Abdul Hakim, informasi sejarah asal-usul Kemenag yang disampaikan Menag itu adalah sesuatu yang baru. Karenanya, agar tidak menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat, ia meminta Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas juga menyampaikan bukti-bukti yang bisa menguatkan pernyataanya.
“Bahwa karena hal itu info baru, maka baiknya Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan bukti-buktinya. Bila benar dan dapat dipertanggung jawabkan, maka sejarah tentang Kemenag itu perlu segera direvisi atau disesuikan dengan pernyataannya,” ujar Abdul Hakim Siagian, Senin (25/10/2010).
Tapi, kata Abdul Hakim, bila secara de facto sejarah dan de jure tidak bisa dibuktikan, baiknya, dicabut saja, paling tidak diralat dan tentu dengan permohonan maaf.
“Bila itu juga tidak, walau ini hemat saya tes ombak, maka potensial akan bermuara keranah hukum. Sebab itu hal yang serius,” tegasnya.
Terakhir, Abdul Hakim Siagian berpesan, dari pada membuat kegaduh, sebaiknya Menag lebih fokus membantu mengurangi beban anak bangsa yang semakin berat akibat hantaman pandemi Covid-19.
“Karena peran Kemenag hemat saya sangat strategis untuk itu,” tutupnya. (*)
Baca Juga: