Penjelasan 4:
Cerdas itu tersemat dalam kedirian manusia yang tak beroleh tempat untuk makhluk lain. Betapa bahagianya menjadi Indonesia karena mengetahui begitu cerdasnya para pendiri bangsa menancapkan nilai sentral kemanusiaan untuk dijadikan obsesi yang harus dicapai tanpa henti berkeringat dan mengorbankan segala hal.
Berdo’alah untuk Panitia Sembilan (Perumus Pembukaan UUD 1945): Agus Salim (1884-1954), Abikoesno Tjokrosoejoso (1897-1968), Wahid Hasjim (1914-1953), Abdoel Kahar Moezakir (1907-1973), Soekarno (1901–1970), Mohammad Hatta (1902-1980), Achmad Soebardjo (1896-1978), Mohammad Yamin (1903-1962), Alexander Andries Maramis (1897-1977).
“Saya bangga menjadi anak didik Muhammadiyah”, kata Soeharto suatu ketika, saat hadir memberi pidaro untuk pembukaan Muktamar Muhammadiyah (berdiri tahun 1912) di Banda Aceh. Ia salah seorang di antara anak bangsa yang dididik oleh bangsanya sendiri, sebagaimana Jenderal Besar Soedirman mengalaminya, rakyat jelata yang diasingkan dari akses pendidikan oleh penjajah.
Tetapi kini Indonesia telah merdeka. Seberapa besar tanggungjawab pemerintah untuk pencerdasan ini? Tak terhingga, kawan.
Dalam UUD 1945 yang diamandemen tersebut kewajiban alokasi APBN dan APBD tidak boleh kurang dari 20 %. SBY pernah diwajibkan merombak postur APBN-nya ketika melalui Mahkamah Konstutusi terbuktikan alokasi untuk pendidikan kurang dari 20 %. SBY legowo, ia seorang negarawan yang merasa bangga ditegur rakyatnya, demi menepatkan arah pembangunan pencerdasan kehidupan bangsa itu.
Tetapi itu masih sangat minimum, kawan. Sekali lagi Indonesia sudah merdeka 76 tahun. Mestinya tak lagi menyamankan diri dalam iklim yang mirip iklim penjajahan dengan akses pendidikan yang sangat sukar.
Hendaklah pemerintah menjadi garda terdepan yang tak boleh kalah oleh tantangan zamannya untuk mencerdaskan bangsa. Seyogyanya secara perlahan Indonesia akan mengadakan semua lembaga pendidikan untuk kebutuhan yang terus berjkembang, tanpa mengurangi hak-hak warga negara (swasta) untuk berkarya dalam bidang itu.
Tetapi jika pendidikan swasta lebih banyak (dan jangan-jangan lebih banyak yang lebih jauh lebih bermutu) dari pendidikan swasta, jelas konstitusi sudah dilawan. Seberapa tega memaksa rakyat untuk membayar mahal agar dirinya cerdas? Sebarapa tega memandang jasa pendidikan sebagai transaksi dengan rakyat yang selalu dihitung dalam komponen anggaran negara (APBN dan APBD)?
Si Tongat harus cerdas. Tak peduli ayah dan maknya tak punya uang. Bahkan semua peralatan dan pakaian seragamnya mestinya disediakan oleh pemerintah dan ia ingin S1 dua kali, S3 dua kali, S3 dua kali, selama itu di dalam negeri, pemerintah harus menghargai si Tongat dan keluarganya dengan obsesi dan cita-cita besar seperti itu. Anda mengenal Tongat kan? Ia bukan Siregar.
Begitu pulalah kesehatan. Jangan ditransaksikan. Kenapa BPJS mengutip dari rakyat? Sambil beraroma mismanajemen pula itu.
Warga negara tidak boleh sakit, dan jika ia jatuh sakit, pemerintah harus mengobatinya sampai sembuh tanpa biaya apa pun yang dibebankan kepada pasien itu.
Kini salah satu keluhan khas Indonesia 4.0 masa pandemi adalah berayun di antara tangisan tak dapat bertemu tatap muka di kelas dan tak dapat melangsungkan interaksi belajar-mengajar karena kesulitan akses.
Apa hukum yang harus ditegaskan di sini? Selama covid-19 melarang kita bertemu di kelas, pemerintah wajiblah tak sekadar mengalokasikan pengadaan barang-barang dengan harga yang dicurigai untuk dikorupsi, tetapi juga seyogyanya terlebih dahulu memetakan permasalahan bangsa lalu kemudian merumuskan kebijakan yang menjawab masalah.
Sekali lagi, apa hukum yang harus ditegaskan di sini? Bebaskan akses internet di seluruh tanah air. Jangan berdalih tangis untuk virus. Itu konyol. Tak cerdas. Tak bertanggungjawab.
Bersambung ke hal 5.