Oleh: Sultan Alam Gilang Kusuma
Hasil pemilu yang mengejutkan datang dari belahan bumi Afrika Utara yang disebut sebagai “Al Mamlakah Al- Maghribiyah” atau kita lebih kita kenal sebagai Maroko. Sebuah negara yang menjadi salah satu tempat belajar asatidz yang cukup beken di kalangan masyarakat Indonesia yaitu Ustadz Abdul Somad.
Dengan menganut sistem monarki konstitusional parlementer sebagai reformasi yang dilakukan Raja Muhammad VI pada 11 Juni 2011 lalu, Maroko baru – baru ini sukses menggelar pemilihan umum untuk memilih anggota parlementer dan pemimpin di wilayah administratif. Dan yang menarik dari gelaran itu adalah perubahan drastis pada percaturan politik kekuasaan parlemen di Maroko.
Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD) yang sebelumnya menjadi pemenang dua kali pemilu berturut-turut kini harus menerima kekalahan telak dimana sebelumnya 125 kursinya mendominasi parlemen kini hanya tersisa 12 kursi pada pemilu kali ini, jauh di belakang lawan-lawan liberal utamanya, seperti Partai Rally Nasional Independen (NRI) dan Partai Keaslian dan Modernitas (PAM), serta Partai Istiqlal (PI) yang berhaluan tengah-kanan.
Perlu diketahui bahwasanya PJD adalah perwakilan dari kelompok Islam konservatif di Maroko yang terafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Mereka yang telah berkuasa selama dua dekade terhitung sejak 2011, kini harus terdepak dari kursi pemerintahan ditandai dengan taklimat pengunduran diri mereka yang disampaikan oleh Slime Armani Wasekjen PJD.
Lalu apa sebenarnya yang menjadi alasan kekalahan kelompok Islam konservatif ini yang kemudian digantikan oleh jaringan koalisi moderat, liberal dan nasionalis di Maroko ini?
Saya mendapat clue dari seorang guru yang terkoneksi dengan apa yang terjadi disana, salah satu alasan kekalahan tersebut adalah statement qiyadah (pemimpin) PJD, Dr. Sa’dudin Al-Utsmani (Saad Eddine El Othmani ) yang setuju agar Maroko membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Hal inilah yang ditengarai menjadi alasan partai Islam terbesar ini kemudian ditinggalkan oleh konstituennya, yang bahkan Ketua PJD tersebut kabarnya kalah di dapil nya sendiri.
Menarik mencermati realitas itu yang kemudian sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Prof Rudy Agusyanto seorang Antropolog yang mengembangkan Analisis Jaringan Sosial sebagai sebuah paradigma baru dalam membaca realitas.
Bahwasanya tidak ada satu hubungan strukturalis yang bisa disebut loyalitas abadi, sebab dalam suatu jaringan sosial setiap aktor terhubung oleh konten yang sama. Tidak ada dominasi atau hubungan struktural atas bawah karena dalam case PJD ini terjadi sebuah kehilangan kepercayaan bahkan mereka yang kemudian hidup dalam ekosistem pembinaan dan riayah yang kuat.
Ketidakmampuan PJD dan Syekh Usmani untuk immers pada jaringannya ketika melontarkan konten membuka hubungan diplomatik kepada Israel membuat mereka yang sebelumnya terkoneksi oleh konten yang sama kemudian membelot kepada PJD.
Mereka yang menang adalah mereka yang mampu terkoneksi dengan banyak jaringan dan mampu immers terhadap konten yang ada dalam jaringan tersebut, bisa jadi partai – partai berhaluan moderat itulah yang mampu menguasai diksi dibanyak jaringan ketimbang PDJ.
Bahkan baru – baru ini diketahui bahwa salah satu anggota parlemen dari PJD bahkan menuntut qiyadahnya Dr. Sa’dudin Al-Utsmani untuk mundur dari kursi kepemimpinan partai. Lagi-lagi membuktikan bahwa loyalitas itu sebenarnya tidak ada, sebab bisa saja sebelumnya anggota parlemen itu terkoneksi oleh konten yang sama dengan Dr. Sa’dudin Al-Utsmani untuk mencapai tujuan PJD.
Sejalan dengan apa yang saya sampaikan pada tulisan yang bertajuk “Taqdisul Wasail” yang menyatakan bahwasanya tidak pernah ada yang disebut sebagai sakralisasi lembaga/individu, melainkan untuk mencapai tujuan atau melanggengkan ide kita tidak perlu kemudian membentuk iner circle yang membawa kita pada jebakan Taqdisul Wasail tadi. (*)
Penulis adalah Peneliti Poly Network dan FODARU Institute