Warisan Halak Sambilan
Sayur Matua dan Sayur Mahincat. Keduanya desa bertetangga di Kecamatan Aek Nabara Barumun, Kabupaten Padanglawas.Legalitas hak dan penguasaan masyarakat adat kedua desa atas lahan sekitar 1.500 hektar warisan leluhur mereka terancam sejak zaman Orde Baru.
Dipermukaan masyarakat adat berhadapan dengan korporasi. Berharap penyelesaian hukum yang adil, kini masyarakat adat menanti keberpihakan dari DPRDSU.
Dalam suratbertanggal 9 Agustus 2021 yang ditujukan kepada DPRDSU, kedua Kepala Desa (H.A. Lawali Hasibuan, SH, MH. MM dan Adam Harahap, S.P) bertutur rinci dengan bukti-bukti dokumen kuat. Tahun 1932 desa mereka didirikan oleh 9 tokoh, secara legendaris dikenal dengan julukan Halak Sambilan (Sembilan Pendiri Kampung). Dja Montorio Harahap, Dja Siborangan Harahap, Marasoeuten Harahap, Batara Daoelay, Mangaradja Malim Daoelay, Marahanda Hasiboean, Dja Padang Bolak Siregar, H. Soleman Siregar dan Malim Soertani.
Pada masa Orde Baru pemerintah melalui Dinas Kehutanan berencana mengelola Proyek Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (PHTI) di kawasan ini. Masyarakat adat kedua desa menolak. Meski begitu, pada 20 Mei 1981 terjadi penyerahantanah dari masyarakat desa-desa tetangga (22 desa) kepada pemerintah untuk kepentingan proyek.
Tetapi tahun 1989-1990 Proyek PHTI terus mencoba menguasai tanah masyarakat adat kedua desa. Berulangkali terjadi kekerasan fisik. Masyarakat ingin perlindungan hukum. Mereka berunjuk rasa ke kantor DPRD Tapsel (Waktu itu kedua desa masih wilayah Tapsel, sebelum pemekaran).
Setelah melalui konsultasi dan peninjauan lapangan, akhirnya tanggal 28 Nopember 1990 Bupati Tapselmenyurati Kepala Dinas Kehutanan Provsu. Isinya, tanah masyarakat adat kedua desa dikeluarkan dari rencana proyek. Disarankan mencari gantinya di lokasi lain.
Karena keinginan Bupati tidak terlaksana,pada 8 April 1994Kepala Dinas Kehutanan Cabang IX Kabupaten Tapseldisurati yang kemudian pihak tersebut melalui surat tanggal 29 April 1994 yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kehutanan Provsu dengan jelas mengakui bahwa masyarakat adat Sayur Matua dan Sayur Mahincattidak ikut menyerahkan tanah untuk Proyek PHT.
Pertemuan para pihak yang bersengketa tanggal 24 September 1997 di kantor Camat Barumun Tengahyang notulennya dikirmkan kepada Bupati Tapsel menegaskan bahwa tanah masyarakat adat Sayur Matua dan Sayur Mahincat ±1.500 hektaradalah legal.
Penegasan ulang Bupati Tapseldisampaikan melaluisurat tanggal 9 Oktober 1997 yang ditujukan kepada Direktur Inhutani IV di Medan. Isinya pengakuan tanah masyarakat adat kedua desa dengan penunjukan batas-batas yang jelas.
Tak putus dirundung malang. Menteri Kehutanan RImelalui Surat Nomor: 82/KPTS-II/200 1 Tanggal 15 Maret 20001 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Kayu Pertukangan (HPH TKP) kepada PT. Sumatera Silva Lestari atas Areal hutan seluas 42.530 Ha (Empat Puluh Ribu Lima Ratus Tiga Puluh Hektar) di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Riau.
Di antara sejumlah prasyarat yang ditentukan terdapat penegasan yang menunjukkan bahwa Menteri Kehutanan RI seolah tidak perlu secara definit mengetahui lahan mana yang diserahkan kepada pengusaha. Dikatakan bahwa, “apabila di dalam areal HPH TKP terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan persawahan atau telah diduduki dan digarap oleh pihak ketiga, maka lahan tersebut tidak termasuk dan dikeluarkan dari area kerja HPH TKP.”
Pada hari Jumat tanggal 3 Juli 2020 yang lalu masyarakat adat di dua desa dikejutkan olehkedatangan orang dengan mengendarai mobil diiringidua sepeda motor dan menggunakan drone di atas tanah warisan nenek moyang mereka.
Kemudian pada hari Minggu tanggal 20 September 2020 kembali ada orang yang mengendarai mobilberkeliaran diwilayah masyarakat adat kedua desa. Mereka curiga. Waswas akan terjadi lagi kekerasan demi mempertahankan hak seperti waktu-waktu silam.
Setelah Rapat Gabungan Komisi A dan B, melalui suratnya tanggal 12 April 2021, Ketua DPRDSU Baskami Ginting merekomendasikan dua hal yang untuk sementara cukup melegakan masyarakat adat kedua desa. Pertama, kedua korporasi agar menunda seluruh kegiatan yang bersinggungan dengan lahan/tanah masyarakat adat. Kedua, meminta Kapolres Padanglawas untuk memantau dan melakukan tindakan preventif untuk meminimalkan konflik di lokasi. Ini respon yang sangat baik.
Gimmick Politik
Mungkin hampir semua pemberitaan media menyisipkan unsur glorifikasi atas pilihan busana adat Presiden Joko Widodo saat merayakan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-76 (busana adat Lampung). Ada pemberitaan yang menegaskan, bahwa setiap peringatan HUT RI Joko Widodo selalu dinanti-nanti. Rakyat penasaran dalam penantian, katanya.
Sejak diawali tahun 2017, busana adat Joko Widodountuk perayaan HUT RI selalu berbeda. HUT RI ke-72 itu giliran busana adat Bumbu, Batulicin, Kalimantan Selatan. Sedangkan Iriana mengenakan baju adat Minangkabau.
Jusuf Kalla, Wakil Presiden waktu itu, mengenakan busana adat Bugis. Para menteri, pejabat negara, dan beberapa anggota pasukan pengamanan presiden (Paspampres) juga berbusana adat.
Saat itu politik istana masih rajin membagi-bagi sepeda. Lima pejabat negara dan tamu undangan pun dihadiahi sepeda. Kononkarena busana adat yang mereka kenakan dianggap terbaik saat itu.
Memang terkesan keinginan dekonstruksi nilai di balik pilihan busana dalam setiap HUT RI itu.
Sayangnya semua masih sebatas upacara. Belum memasuki wilayah kerja memuliakan harkat dan martabat masyarakat adat. Tentulah tak dengan seremoni itu agenda yang harus ditunaikan kepada masyarakat adat dianggap sudah terlaksana.
Sikap pemerintahan dunia melalui PBB telah begitu jelas. Keberpihakan kepada masyarakat adat di Indonesia pun mestinya tak berhenti pada masalah pilihan yang di dalamnya pasti terselip mekanisme pembobotan penting dan tak penting secara politik, oleh istana.