Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Seorang jurnalis bertanya sore ini tentang posisi tawar etnis Jawa dalam pilkada 2024 nanti. Komposisinya cukup besar (33,8%?) dibanding etnis-etnis lain di Sumatera Utara.
Dalam pengalaman Sumut komunitas Jawa belum terkonsolidasi untuk urusan politik. Pertama, mereka tidak cukup berhasil menyatu-padukan diri karena memang secara sosial, ekonomi dan juga kultur mereka cukup majemuk juga.
Memang outsider tidak selalu mampu mehami ini. Bukan cuma soal Jawa santri dan abangan, tetapi afiliasi politik dan kultural mereka juga cukup beragam.
Kedua, beberapa di antara figur mereka pernah beroleh kesempatan diposisikan sebagai wakil pada pilkada. Sebagian berhasil seperti Budiono di Langkat semasa kepemimpinan pertama Ngogesa Sitepu.
Tritamtomo adalah tokoh militer dari Jawa yang pernah bertugas sebagai Pangdam I BB, maju ke Pilgubsu tetapi kalah oleh Syamsul Arifin-Gatot Pujonugroho. Waktu itu Suherdi mendampingi Robert Edison Siahaan (RE Siahaan) mantan Walikota Siantar. Kedua pasangan bercampur Jawa ini kalah oleh pasangan bercampur Jawa lainnya, Syamsul Arifin-Gatot Pujonugroho.
Gatot Pujonugroho dalam kedudukan sebagai incumbent memenangi Pilgubsu pasca Sampurno. Ini satu-satunya catatan paling sukses orang Jawa dalam rivalitas politik di Sumatera Utara, dan ia menggandeng tokoh Melayu yang kemudian mengganti kedudukannya sebagai gubernur Sumut.
Djumiran Abdi mendampingi Efendi Muara Simbolon dalam pilgubsu, tetapi kalah, sama halnya dengan Soekirman yang digandeng Gus Irawan Pasaribu dan belum berhasil.
Soekirman waktu itu berada pada posisi serba untung besar. Jawa yang satu ini menjadi Bupati setelah Bupatinya HT Erry Nuradi menang bersama pasangan Jawa Gatot Pujonugroho pada Pilgubsu. Jika menang, tentu saja lebih bergengsi sebagai Wakil gubernur dibanding wakil Bupati. Tetapi jadi Bupati itu luar biasa juga.
Ketiga, selama orang Jawa tidak menseriusi konsolidasi, mereka akan tetap hadir dalam politik tetapi sulit leading. Konsolidasi yang diperlukan ialah memberi keleluasaan bagi setiap kelompok untuk berdedikasi dalam organisasi kelompoknya, namun sanggup membedakan kepentingan besar, menengah dan kecil.
Kemudian, konsolidasi yang amat diperlukan lainnya ialah sahutan atas nsib warga terutama yang berada di sekitar perkebunan atau kawasan eks HGU. Mereka tak tersahuti. Leluhur mereka berjasa sejak era kolonial mengembangkan industri perkebunan yang produknya menjadi primadona termasyhur termasuk di tataran pasar internasional. Tetapi kemudian negara hadir memberi perintah yang tak mengindahkan mereka.
Wagirin Arman adalah salah satu tokoh politik Jawa, pernah berhasil menjadi Ketua DPRD Sumut, sebagai pengganti karena ketua yang sebelumnya berurusan dengan hukum. Namun politisi berbasis di Deliserdang ini belum memiliki kader pengganti yang benar-benar dapat membaca permasalahan dan memimpin gerakan kemajuan masyarakat Jawa ke depan melebihi aspirasi-aspirasi kekelompokan yang ada.
Tentu saya tak melupakan nama-nama beken lainnya seperti Romo H Raden Muhammad Syafi’i, Kasim Siyo dan tokoh yang berkiprah di daerah khususnya di Labuhan Batu, Asahan, Langkat, Medan dan lain-lain.
Keempat, tidak dapat dipandang enteng proses literasi dan kemajuan sosial ekonomi komunitas Jawa di Sumatera Utara termasuk di wilayah-wilayah “kantong besar” transmigrasi. Semua itu menunggu sintuhan dari tokoh mereka meski pun pola dan manajemen pemerintahan saat ini (good governance) mampu mengintervensi setiap orang secara inklusif sehingga tak selalu menganggap kesukujawaan sebagai satu-satunya posisi tawar politik yang cukup penting secara partikularistik.
Saya melihat animo tokoh Jawa akan tetap berusaha mengemuka nanti, dan masa-masa untuk itu bergulir mungkin mulai pertengahan tahun ini dan seterusnya. (*)
Penulis adalah Ketua Lembaga Hikmah dan Kajian Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumut dan Dosen FISIP UMSU