TAJDID.ID || Guru Besar Ekonomi IPB Prof Didin S Damanhuri menilai tesis politik Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari tentang ancaman keterbelahan yang kemudian menjadi alasannya untuk menggagas 3 periode masa jabatan presiden kurang tepat. Ia menyebut tesis Qodari itu cuma skenario ketakutan.
“Menurut saya tesis besar Qodori itu adalah skenario ketakutan,” ujar Prof Didin saat diskusi Zoominari Kebijakan Publik Narasi Institute, Jumat (25/6).
Ia menyinggung salah satu alasan Qodari adalah faktor Trump (Donald Trump). Menurutnya itu tidak relevan lagi, karena era Trump sudah berakhir.
“Sekarang zamannya Biden. Jadi, seharusnya hari ini adalah eranya Bidan di tingkat global, termasuk di tingkat nasional Indonesia,” katanya.
Baca juga: Chusnul Mar’iyah: Politik Identitas Bukan Sumber Pembelahan Pilpres
Didin menjelaskan, bahwa akar dari berbagai stigmatisasi Francis Fakuyama tentang kategorisasi belum tentu ada di Indonesia. Karena soal perbedaan, misalnya abangan dan santri yang disebut Clifford Geertz adalah tesis yang sudah lama dan perlu dipertanyakan relevansinya.
Menurut Didin, sejak tahun 50 an sampai hari ini masih begitu-begitu saja. Maksudnya waktu itu saat pemilu 55 hampir tidak ada yang menang mutlak, dimana di tingkat DPR perbedaannya cuma sekitar 1 persen sedangkan di tingkat pemilih (vooter) perbedaannnya sekitar 4 persen.
“Jadi kalau dihitung-hutung sekarang itu hampir sama , walaupun ada yang nasionalis yang masuk ke kelompok agama. Intinya sekarang telah terjadi pembauran yang luar biasa.” ungkapnya.
“Makanya ada kalangan sosilog ada yang mengatakan kategorisasi ala Getz sudah berakhir, sudah tidak ada lagi dikhotomis antara santri dan abangan lagi.Yang nasionalis makin agamis, dan yang agamis sangat nasionalis,” imbuhnya.
Sementara adanya sekolompok kecil yang mengganggu dengan penggunaan alasan-alasan agama untuk tujuan-tujuan kekerasan, menurut Didin itu sebenarnya panjang sekali sejarahnya dan akar yang mengungkap dari kesuluruhan itu sebanarnya banyak sekali wacana dari kalangan ahli.
Ditegaskannya, wacana untuk menyelesaikan pembelahan itu banyak sekali. Ia menuturkan pengalannya pernah memimpin rombongan Lemhanas ke Belgia untuk studi banding soal radikalisme.
“Di sana para elit NATO mengatakan akar persoalan dari terorisme adalah ketidak adilan sosial secara global,” ungkapnya.
Kembali kepada soal 3 periode masa jabatan presiden, Didin menilai gagasan Qodari sangat berani karena konsekuensinya luar biasa baik itu terkait kettatnegaraan, etis dan historis.
Menurutnya, yang paling penting itu adalah soal memutus historis. Ia mengungkapkan penyebab mengapa Bung Karno akhrinya lengser.
“Menurut saya itu disebabkan bung karno tidak bisa mengandalikan dirinya setelah diangkat sebagai presiden seumur hidup oleh MPR, maka terjadilah pertikaian antara PKI dan TN AD dan seluruh elemen-elemennya,” tutur Didin
Begitu juga pada pemilu terakhir menjelang Soeharto lengser, dimana Harmoko menanyakan kepada pak Harto, apakah masih bersedia jadi presiden. Pak Harto mengatakan tergantung rakyat. Dan apa yang terjadi kemudian? Suhartopun akhirnya lengser.
“Kalau ini terjadi lagi, jika pak Jokowi tergiur dan tidak bisa mengandalikan gagasan yang seperti ini, intinya pembatasan kekuasaan yang secara sangat jenius sudah dirumuskan reformasi dalam amandemen UUD 45, maka menurut saya akan terjadi lagi sebuah skenario yang buruk di dalam sejarah Indonesia,” katanya.
Secara politik, Dididn tidak tidak membantah bahwa aspirasi yang disebut-sebut qodari itu memang ada , tetapai menurutnya itu adalah analisis mentalistik yang mengabaikan analisis historis-struktural .
“Kenapa? Karena kita tahu yang membiayaai pemilu selama ini. Betapa keterganutungan para elit politik kepada para cukong yang membiayaai pemilu-pemilu itu. Jadi pertanyaannya, sebenarnya agenda siapa ini yang ngotot 3 preiode. Pak Jokowi sudah membantah, , jubirnya sudah membantah, , partai pengusung sudah membantah,” kata Didin.
Menurutnya, cara untuk mengakhiri pembelahan bukan dengan memasangkan Jokowi-Prabowo seperti usulan M Qodari, melainkan dengan mengurai eksistensi oligarki pengisap rakyat yang saat ini makin menguat.
Didin mengingatkan, bahwa tidak ada yang happy dalam dinamika oligarki dengan politik . Menurutnya, semua pengusaha itu sebenarnya goyang semua, berdarah-darah, karena selalu harus terjadi tarik-menarik, sehingga memaksa mereka untuk membiayai politik itu.
“Betapa hight-cost politik akan makin luar biasa dan dampak ketimpangannya sangan luar biasa. Jadi siapa sebenarnya yang punya ide tentang 3 periode ini?,” tanyanya lagi. (*)