Oleh : Budi Nurastowo Bintriman
Bicara tentang hubungan antara Muhammadiyah dengan kekuasaan kira-kira samakah bicara tentang hubungan antara Islam dengan negara? Jika sekiranya sama maka bisa dipastikan bersifat kompleks. Tidak sekedar hitam-putih, tapi juga tidak sekedar kanan-kiri oke. Juga tidak sekedar permainan dua kaki yang selama ini agak konsisten diterapkan dengan dalih cari aman.
Hubungan antara Muhammadiyah dengan kekuasaan kini agak hangat dibicarakan. Setidaknya di kalangan internal Muhammadiyah sendiri.Hal tersebut terkait dengan beberapa kader muda Muhammadiyah yang “terseret dan terjerat” ke dalam pusaran politik kekuasaan.
“Jeratan” itu sangat dikhawatirkan oleh beberapa kalangan internal Muhammadiyah. Karena ia bisa mengkooptasi nalar kritis para pemuda anak bangsa. Kooptasi yang sebatas kepentingan-kepentingan sempit, parsial, dan sesaat. Padahal mustinya mereka bisa berekspresi secara leluasa, merdeka, dan eksploratif. Itu sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Busyro Muqoddas.
Berdasar fenomena puluhan tahun atau rekam jejaknya, sejatinya khalayak mulai kenal karakter santun karakter wasathiyah Muhammadiyah dalam berpolitik. Karakter yang terbaca jelas berbeda dengan NU. Ini sangat bisa dimaklumi, karena NU punya “anak” partai politik yang bernama PKB. Sedang Muhammadiyah sekedar agak dekat dengan PAN, itupun dulu.
Pusaran kekuasaan itupun sebenarnya tak sekedar menyasar ke kader-kader muda Muhammadiyah saja. Tapi ia juga menyasar kepada “tokoh-tokoh sepuh” Muhammadiyah. Tawaran jabatannya kepada mereka tentu sekelas menteri di jajaran kabinet. Ini fakta yang tak bisa dipungkiri.
Kini konstelasi politik nasional sudah berubah ke arah yang anomali. Di antaranya, partai-partai yang ada, semuanya berideologi pragmatisme, koalisi tanpa platform, pemanfaatan buzzer sebagai mesin penghantam suara kritis, dan lain-lain. Sehingga dengan mudahnya partai yang tadinya berlawaan sengit, kemudian bisa saling berangkulan mesra ketika hendak menyusun kabinet.
Suara massa pendukung atau konstituen yang dahulunya selalu serba berseberangan, kini terbengong-bengong tak habis pikir. Drama turgi “sleeping with enemy” menjadi adegan demi adegan yang kerap menghiasi pentas politik nasional. Entah warisan politik apa yang hendak mereka tinggalkan untuk anak-anak cucu republik ini, kelak.
Di kalangan umum, pandangan tentang hubungan antara Islam dengan negara setidaknya terbagi menjadi empat.
Pertama, negara musti berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam, baik sisi publiknya ataupun sisi privatnya. Sebutan awamnya negara teokrasi.
Ke dua, kebalikan dari yang pertama, negara dengan agama Islam musti di pisah. Negara yang kecampuran urusan-urusan agama pasti tak akan maju. Dan agama Islam yang kecampuran perkara-perkara politik akan mencemarkan kesucian agama Islam. Karena ranah politik itu ibarat genangan darah babi.
Ke tiga, pemikiran yang berbeda dengan kedua pemikiran di atas adalah negara atheis. Politik negara tak memberi tempat dan kesempatan sedikitpun kepada agama untuk eksis, tumbuh, dan berkembang. Karena agama apapun itu adalah dianggap candu bagi masyarakat. Fungsinya hanya membuai fantasi-fantasi kenikmatan di otak dan jiwa masyarakat belaka.
Ke empat, antara politik dengan nilai-nilai agama Islam diharmonisasikan sedemikian rupa. Contohnya politik kenegaraan di Indonesia ini. Indonesia bukan negara teokrasi. Buktinya hukum-hukumnya berlaku hukum positif, bukan berlaku hukum Islam. Indonesia bukan negara atheis. Buktinya ada Pancasila sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Indonesia bukan negara sekuler. Buktinya ada lembaga keuangan syari’ah di pemerintahan. Ada lembaga-lembaga keagamaan lainnya. Dalam hal ini, Muhammadiyah sendiri mengistilahkannya sebagai “darul-ahdi wasy-syahadah”.
Terkait dengan hubungan antara Muhammadiyah dengan kekuasaan yang khas Indonesia, terbagi dalam dua pendapat umum. Pertama, ada sebagian pihak yang pro terhadap keterlibatan tokoh-tokoh atau kader-kader Muhammadiyah di dalam pemerintahan.
Alasan “konstitusionalnya”, bahwa keterlibatan orang-orang Muhammadiyah dalam pemerintahan tersebut sama sekali tak melanggar prinsip-prinsip “Sepuluh Sifat Muhammadiyah”. Bahkan malah sesuai, khususnya pada poin 2 dan 9. Jadi tak ada masalah sama sekali.
Ke dua, ada pihak yang kritis dalam menanggapi perihal tersebut di atas. Pihak ini menginginkan Muhammadiyah punya parameter yang jelas mengenai kriteria rezim mana yang bisa “dibantu”, dan punya kriteria rezim mana yang “tak perlu dibantu”.
Dengan adanya parameter yang demikian itu, Muhammadiyah menjadi berwibawa, punya satu suara atau sikap yang bulat, dan tak terombang-ambing oleh arus permainan politik dari rezim yang sedang berkuasa. Dan juga kemudian muncul pertanyaan, bagaimana jika rezim yang berkuasa culas dan dhalim? Tetap berlakukah azas “hitam-putih” poin 2 dan 9 pada “Sepuluh Sifat Muhammadiyah” tersebut?
Sayangnya yang berkembang di Muhammadiyah sekarang ini adalah pro-kontra rendahan, polemik picisan, dan debat kusiran. Pihak yang kontra lebih cenderung menyerang pribadi-pribadi tokoh-tokoh atau kader-kader yang menerima tawaran jabatan-jabatan tertentu dari rezim. Ini jelas tak elok!
Sementara pihak yang pro menuduh pihak yang kontra sebagai pihak yang tak bisa bersyukur, sebagai pihak yang tak bisa introspeksi, sebagai pihak yang hitam-putih, sebagai pihak yang sempit wawasan, dan lain sebagainya. Bahkan juga diimbuhi kata-kata, “Justeru harusnya kita bangga, ada orang Muhammadiyah yang menjabat jadi komisaris utama, dan ada yang menjabat jadi menteri”.
Pihak yang pro jadi cenderung menyerang pribadi juga, ketimbang berargumentasi secara intelek dan akademis. Ini sama-sama tak eloknya! Serendah itukah reasoning perumusan “Sepuluh Sifat Muhammadiyah”, khususnya poin 2 dan 9? Tentunya tidak bukan?!
Oleh karena itu, sebagai warga Muhammadiyah yang berakal-budi cerdas dan cerah, mari kita tidak terjebak pada pro-kontra rendahan tersebut! Yang pasti, “Sepuluh Sifat Muhammadiyah” bukan nas suci! Maka hargailah jika ada pihak-pihak yang kritis merespon keterlibatan Muhajir Effendi, Sunanto, dan Najih di rezim yang berkuasa saat ini!
Dan lebih jauh dari itu semua, karena ke depan- ke depannya, jelas tak ada jaminan, bahwa ada regulasi konstitusional yang bisa mencegah berkuasanya “rezim drakula” atau “rezim machiavellis” di negeri ini. Tak ada jaminan sedikitpun, iya bukan? Ini merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi yang kita terapkan dan kita puja-puji selama ini!
Wa-ALLAHU a’lam bishshawwab.(*)
Penulis adalah Muballigh Akar Rumput, Pengasuh Pondok Pesantren Muhammadiyah Asy-Syifa’ Bantul (2012 – 2017)