Oleh : Budi Nurastowo Bintriman
Sebatas pengetahuan saya, kesenian wayang kulit sama sekali bukan ciptaan Sunan Kalijaga. Ia lebih merupakan bagian dari peradaban negeri India yang beragama resmi Hindu.
Oleh Sunan Kalijaga, wayang kulit itu dijadikan media untuk menarik atau mengumpulkan umat (ijabah atau dakwah). Nota-bene umat kala itu adalah animisme, dinamisme, dan Hindu. Dakwahnya adalah dakwah Islam. Suatu gambaran yang kompleks.
Di samping dijadikan sebagai media penarik, kesenian wayang kulit secara isi juga disesuaikan sana-sini agar sejalan dengan nilai-nilai keislaman. Bahkan juga agar sejalan dengan nilai-nilai Jawa.
Pada dua poin di atas, tak ada masalah. Bahkan terbilang merupakan gerakan brilian dari Sunan Kalijaga untuk kurun atau masa itu. Profesor Abdul Mu’ti mengistilahkannya sebagai inkulturasi. Semua sepakat itu.
Makanya rupa Islam di tangan Sunan Kalijaga atau bagi wong Jowo, sejatinya Islam adalah sangat shoft. Bahkan bangsa kita inipun bisa “berinkulturasi” terhadap nilai-nilai penjajah Belanda yang berhati dan berlaku jahat.
Proses dakwah Islam Sunan Kalijaga melalui media kesenian wayang kulit belum tuntas, namun segera berganti era atau generasi. Itu semua karena hukum alam.
Wayang yang jelas-jelas kental Hinduismenya, oleh awam kemudian justeru dianggap menjadi seperti “trademark-nya” dakwah Islamnya Sunan Kalijaga. Padahal bukan sama sekali. Di wayang jadi ada “aji-aji” Kalima Sada yang sejatinya kalimat syahadat (Tauhid).
Terhadap sisi-sisi filosofis-teologis lain yang belum “tergarap” oleh Sunan Kalijaga, jika mau jujur, itu pasti menimbulkan masalah bagi muslim khawas-kritis yang mulai tumbuh subur di Indonesia. Misal konsep tentang laku topo nggeni, topo ngebleng, topo mutih, ngelmu kasekten, poliandri dan lain-lain. Itu merupakan persoalan pelik, karena berlawanan dengan makna tauhid.
Gesekan-gesekan terkait pada perihal substansi kesenian wayang sekarang ini menjadi sangat sensitif. Kalangan cerdik-pandai cenderung menghindar dari diskursus ini. Karena perihal ini menjadi ranah yang menakutkan (ngeri-ngeri sedap).
Coba jawab secara jujur, di mana ada kesesuaiannya antara konsep teologis dalam Islam dengan konsep teologis dalam dunia wayang?
Dalam tataran yang paling sederhana, bahwa “pagelaran wayang kulit semalam natas”, jelas itu merupakan laku laghwa. Dengan logika profetik mana laghwa itu bisa kita terima?
Belakangan ini ada tokoh Muhammadiyah, Prof. Abdul Mu’ti yang “pro” dengan kesenian wayang kulit. Dan itu tentu banyak pendukungnya. Beliau menyatakan, bahwa secara kesejarahan, pengetahuan Khalid Basalamah mengenai kesenian wayang kulit adalah dangkal.
Muhammadiyah sendiri secara kelembagaan sangat akrab dengan tontonan (bukan tuntunan) kesenian wayang kulit. Acara-acara milad di Muhammadiyah sangat sering menghelat pagelaran wayang kulit semalam natas.
Terlepas dari pengetahuan Khalid Basalamah dangkal atau tidak tentang kesenian wayang kulit, mari jika kita hendak membahasnya, kita gunakan analisa-analisa dan argumentasi yang jernih dan bertanggungjawab. Karena kesenian apapun itu, tidak muncul atau lahir di ruang hampa.
Bagi Muhammadiyah sendiri, media untuk menarik atau mengumpulkan umat (dakwah atau ijabah) insya Allah cukup dengan adanya lembaga pendidikan sekolah, kampus, rumah sakit, dan lain-lain maka akan jauh lebih efektif dan efisien. Maka yang ada itu mari kita optimalkan.
Maka bisa jadi, ketika Muhammadiyah masih “berbaik sangka” terhadap ampuhnya penggunaan media kesenian wayang kulit untuk berdakwah, sejatinya sekarang ini, itu adalah mithos belaka. Karena secara faktual kita beda zaman dengan Sunan Kalijaga. Dan lebih dari itu, adakah riset mengenai perihal dakwah itu?
Sunan Kalijaga sangat brilian menginkulturasi kesenian wayang kulit untuk berdakwah. Sedang kita sekarang ini tak melakukan apa-apa terhadap kesenian wayang kulit. Kita jauh turun bobot dan derajatnya dibanding Sunan Kalijaga, di saat menghelat pagelaran kesenian wayang kulit semalam natas.
Pagelaran kesenian wayang kulit yang dihelat oleh Muhammadiyah sudah tak ada nilai-nilai dakwahnya. Atau sebut saja nyaris tak ada. Maka ia tak ada beda dengan tontonan-tontonan kesenian wayang kulit lain di tempat lain.
Wallahu a’lam bishshawwab…(*)
Logikanya nyambung. Terima kasih pencerahanya.
Terima kasih atas penjelasannya dan pencerahannya.