Oleh : Budi Nurastowo Bintriman
Penulis mengernyitkan dahi, karena menjumpai maraknya program beasiswa di Perguruan-Perguruan Tinggi Muhammadiyah bagi para siswa penghafal Al-Qur’an. Ada yang mensyaratkan minimal lima juz, atau 10 juz, atau 15 juz, atau 30 juz.
Syarat-syarat volume hafalan itu tergantung pada jurusan-jurusan pilihannya. Semakin tinggi volume hafalan yang disyaratkan, berarti semakin “bergengsi” jurusannya. Biasanya jurusan-jurusan exact.
Mengapa penulis mengernyitkan dahi? Karena sejauh yang penulis ketahui, lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah di sekolah lanjutan SLTP – SLTA “alergi” terhadap hal-hal yang berbau hafalan Al-Qur’an. Dan tampaknya, hal tersebut “turunan dari atasnya”.
Alasannya Muhammadiyah ini sebagai ormas penyatalaksana pesan-pesan suci Al-Qur’an, bukan kumpulan umat penghafal Al-Qur’an. Mereka menambahkan contoh Kyai Haji Ahmad Dahlan yang lebih konsentrasi pada amal nyata.
Alasan dan contoh itu sepertinya masuk akal dan benar. Tapi jika kita telisik secara seksama, alasan dan contoh tersebut, salah besar. Dan sangat dimungkinkan karena mereka belum tahu konsep Tahfidzul Qur’an yang sebenarnya.
Dalam kondisi seperti itu, maka program beasiswa di Perguruan-Perguruan Tinggi Muhammadiyah jadi malah diambil oleh “anak-anak luar” yang bukan Muhammadiyah. Biasanya malah dari Salafi, NU, tarbiyah, dan lain-lain. Ini aneh luar biasa, bukan?
Mengapa demikian? Ya, karena lembaga-lembaga pendidikan mereka menerapkan program Tahfidzul Qur’an. Bahkan dimulai sejak PAUD-nya atau TK-nya. Program ini pula yang membuat lembaga-lembaga pendidikan mereka secara tak langsung “menenggelamkan” lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah, khususnya PAUD dan TK Aisyiyah.
Biasanya, anak atau siswa yang hafal Al-Qur’an rata-rata peringkat akademiknya di sekolah juga berada di level atas. Artinya, anak atau siswa tersebut berkualitas. Ia sangat potensial untuk dijadikan kader Muhammadiyah. Sungguh amat disayangkan, bila potensi besar ini tersia-siakan begitu saja. Bahasa kerennya, ada korelasi antara hafalan Al-Qur’an dengan prestasi akademik.
Di luar dunia pendidikan, juga ada fenomena menarik. Masjid milik warga Muhammadiyah, ternyata imam tetapnya bukan warga Muhammadiyah. Mengapa bisa demikian? Karena warga Muhammadiyah yang jadi imam di masjid itu terlalu sangat sering hanya baca “Surat Empat Qulhu” saat subuh, maghrib, dan isya’. Maka “dikudeta” oleh para makmumnya.
Pada tahun 2015, Pak Dahlan Rais pernah menyampaikan kepada kami para pengasuh pondok pesantren Muhammadiyah. Bahwa, para kader muda Muhammadiyah tak percaya diri mengelola masjid kampus Muhammadiyah. Mengapa? Karena hafalan Al-Qur’an mereka sangat minim.
Akhirnya masjid kampuspun dikelola oleh anak-anak muda atau mahasiswa yang nota bene bukan kader Muhammadiyah. Intinya, beliau mengajak kita semua untuk prihatin atas situasi dan kondisi ini. Agar supaya tak terlalu banyak ironika di Persyarikatan ini.
Pertanyaannya, kenapa bisa, di Muhammadiyah ada perasaan seperti “alergi” terhadap program Tahfidzul Qur’an? Padahal program Tahfidzul Qur’an itu sama sekali tak menepikan aspek kognitif, aspek penghayatan, aspek afektif, dan apalagi aspek pengamalannya.
Kalaupun mungkin ada, penulis sangat yakin, bahwa itu program Tahfidzul Qur’an yang diterapkan oleh lembaga-lembaga di luar Muhammadiyah. Dan penulis sangat yakin, bahwa pondok tahfidz yang demikian itu hanya sedikit jumlahnya.
Maka penulis berani menantang, “Coba tunjukkan lembaga pendidkan Muhammadiyah mana itu, yang program Tahfidzul Qur’annya mereduksi keutuhan ajaran Islam!?” Sebaliknya penulis berani jamin, lembaga pendidikan Muhammadiyah yang demikian itu insya Allah pasti tak ada!
Sebatas pengetahuan penulis, pondok-pondok pesantren yang menerapkan program Tahfidzul Qur’an juga mengiringinya dengan tambahan materi aqidah, dirasah islamiyah, ulumul Qur’an, akhlaq, dan lain sebagainya.
Bahkan khusus dalam pencerminan perilaku atau akhlaq qur’ani, para hafidz diajarkan kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an karya Imam An-Nawawi. Semua materi dalam kitab tersebut diajarkan hingga tuntas terinternalisasi ke jiwa para siswa Tahfidzul Qur’an. Apakah ikhtiar-ikhtiar pendamping yang sudah cukup memadai itu masih meragukan pihak-pihak yang “alergi tahfidzul Qur’an”?
Maka jika kelak kemudian ada kader-kader Muhammadiyah yang juga hafal Al-Qur’an atau hafalannya lumayan, maka penulis justeru akan menyebutnya sebagai KADER MUHAMMADIYAH PLUS. Asumsinya ia adalah kader komplit, yang amalan nyatanya merupakan cerminan dari ayat-ayat suci yang sudah dihafalnya. Wa-ALLAHU a’lam bishshawwab…(*)
Penulis adalah mubaligh akar rumput, ber-NBM : 576.926
Super sekali pak mari kita buktikan banyudino siap sediakan pondok buat ank bangsa yg bermartabat dan tau akan adap benar2 faham akan Al Quran sehingga bisa benar2 jadi kader Muhammadiyah dan siap dimasyarakat ,Muhammadiyah memberi dan melayani yang terbaik.