Oleh : Budi Nurastowo Bintriman, Alumni Pondok Mahasantri Hajjah Nuriyah Shabran UMS Angkatan 1986.
Telah tampak nyata, bahwa Covid-19 adalah ujian. Ujian yang tentunya datang dari ALLAH Penguasa semesta jagad raya. Ia bukan sekedar virus yang bisa bikin sakit pada sistem pernafasan manusia. Hingga si penderita tewas meregang nyawa dalam waktu singkat.
Covid-19 sebagai ujian, telah membelah para pengamat sosial-politik-ekonomi. Pengamat belahan sisi sana berpendapat, bahwa semua ini adalah hasil dari kerja konspirasi beberapa elit dunia. Konspirasi untuk “berkuasa” terhadap akses-akses kekayaan. Ataupun kuasa-kuasa hegemonik megalomaniak.
Sementara pengamat belahan sisi sini berpendapat, bahwa Covid-19 tak berkait dengan teori konspirasi. Karena teori konspirasi menjadi sangat liar dan hanya menuruti selera masing-masing pihak-pihak si pembuat analisa. Ia bisa sangat subyektif dan spekulatif.
Di dalam mengendalikan Covid-19, penguasa atau pemerintah Indonesia tampak nyata kedodoran. Dari yang awalnya meremehkan dan sok pintar, akhirnya hanya pura-pura mampu merespon. Namun kebijakan-kebijakannya tetap saja tampak nyata hanya ngawur dan serampangan belaka.
Di posisi itu dan situasi begitu, kapasitas, kapabilitas, dan integritas para pemimpin dan para pejabat diuji. Rakyat akhirnya tahu, bahwa banyak pemimpin dan pejabat di negeri ini yang tak mencapai tiga standar tersebut. Dengan kata lain, banyak pemimpin dan banyak pejabat yang grade-nya di bawah standar.
Meski begitu, pada kenyataan para pimpinan dan para pejabat yang memilukan itu, pun memunculkan beragam respon atau penilaian dari rakyat. Atas respon dan penilaian rakyat yang beragam itupun menimbulkan ujian tersendiri. Fakta, rakyat terbelah dua!
Di satu sisi, sebagian rakyat menilai, bahwa rezim ini cukup cakap dalam menahkodai bahtera besar bernama NKRI. Artinya rakyat percaya, bahwa pemerintah mampu “membawa” rakyatnya untuk melewati badai Covid-19. Dan mampu menyelamatkan rakyatnya dari badai Covid-19.
Di sisi lain, sebagian rakyat menilai, bahwa negeri ini adalah negeri auto pilot. Keadaan di mana negara tak hadir pada saat yang sangat dibutuhkan oleh rakyatnya. Terlalu banyak fakta telanjang untuk membuktikan penilaian tersebut. Salah satunya adalah simpang-siurnya pernyataan para menteri terkait satu masalah penanganan dan pencegahan persebaran Covid-19. Itu diimbuhi oleh lemahnya kepemimpinan Joko Widodo.
Tak pelak, ujian Covid-19 pun melanda ke tubuh organisasi kemasyarakatan Islam (ormas Islam). Dalam hal ini, mari kita lihat Persyarikatan kita Muhammadiyah! Dalam hal ini, mari kita lihat respon warga atau kader terhadap Maklumat Persyarikatan! Dalam hal ini, mengenai fikih ibadah di masa pandemi. Dalam hal ini khusus mengenai pelaksanaan shalat berjama’ah, baik shalat fardhu lima waktu, shalat tarawih, dan shalat idul fitri.
Di titik itu, warga dan kader Muhammadiyah juga terbelah. Ada sebagian kecil warga dan kader yang tak bersedia melaksanakan Maklumat Persyarikatan. Mereka menggunakan banyak alasan, banyak argumentasi, dan banyak dalil.
Apakah itu pembangkangan? Ya jelas, itu pembangkangan! Apakah itu perkara sepele? Tidak, itu jelas perkara yang tak bisa dianggap remeh. Itu preseden buruk! Nyatanya Haedar Nasir bereaksi keras terhadap fenomena pembangkangan itu. Bahkan ia pula yang pertama kali menggunakan istilah “pembangkangan”.
Kemudian fenomena pembangkangan tersebut juga di respon oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Pimpinan berketetapan, bahwa menganjurkan mundur dari struktur kepemimpinan bagi para pembangkang Maklumat Persyarikatan. Ini penyikapan yang sudah benar di tataran riil organisasi.
Yang berikutnya media on line DepokMu (Abdul Mutaqin) mengangkat perihal pembangkangan tersebut dengan judul : “Persyarikatan Dan Cobaan Idul Fitri 1441 Hijriyah”. Sebuah tulisan yang tentunya tak muncul begitu saja di ruang hampa. Itu kemungkinan besar muncul atas adanya riak-riak kecil di bawah yang mulai bikin tak nyaman. Riak-riak yang dikhawatirkan bisa menggerogoti soliditas Persyarikatan.
Penulis menemui beberapa fenomena ganjil. Ada masjid yang perangkat takmirnya dominan warga dan kader Muhammadiyah, serta praktek amalan ibadahnya sesuai tarjih, tapi saat ada pandemi Covid-19, seolah tak pernah ada Maklumat Persyarikatan. Penulis juga temui ada pimpinan di tingkat Pimpinan Daerah, seorang mubaligh yang khusus mentablighkan putusan-putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah (dalam HPTM), tapi malah jadi imam pada shalat-shalat yang “terkena” Maklumat Persyarikatan.
Pada kasus-kasus tersebut di atas, Muhammadiyah lebih mirip paguyuban, ketimbang organisasi. Tak ada disiplin organisasi yang ketat dan standar. Tak ada ketundukan pada etik atau kaidah organisasi. Padahal itu produk Pimpinan Pusat. Bukankah sesungguhnya perkara ini tak boleh dianggap remeh? Sekali lagi ini preseden buruk!
Warga atau kader kemudian bisa saja menggampangkan. Oh ternyata kita bisa atau dibolehkan untuk membangkang terhadap putusan-putusan Persyarikatan. Belum lagi jika itu putusan-putusan di level bawah. Awas, jika tak diwaspadai, ini bisa menjadi gelindingan bola salju lho! Ingat, bahwa fatwa Muhammadiyah tentang haramnya rokok pun sejauh ini hanya “ditunggingi” dan menjadi bahan olok-olok oleh sebagian para kader dan warganya. Ironis dan miris bukan?
Di sisi lain, Pimpinan di semua level musti segera mawas diri. Kemudian ajukan pertanyaan kepada diri sendiri. Mengapa para warga atau para kader bisa berlaku membangkang seperti itu? Karena sedikit-banyaknya fenomena ini mengindikasikan adanya krisis kewibawaan pada diri para pimpinan. Mengapa ada krisis kewibawaan? Monggo silahkan cari dan temukan jawabannya secara sendiri-sendiri bisa, dan atau secara jama’i juga boleh.
Adalah tugas kita bersama untuk menjaga soliditas Persyarikatan yang dikagumi oleh banyak pihak selama ini, dalam bentangan sejarah yang sangat panjang. Dan tugas kita bersama pula untuk menampakannya (syiar), sebagaimana pesan Pokok Pikiran VI pada Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM).
Fokus pada Pokok Pikiran VI MADM tersebut menjadi perkara yang terpenting. Karena di sana disebutkan, untuk menyata-laksanakan Pokok Pikiran I – V musti dengan wasilah berorganisasi (jama’i). Apa jadinya, jika kenyataan keorganisasian Persyarikatan Muhammadiyah hanya seperti paguyuban? Bisakah orientasi Persyarikatan ini terarah ke tujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, sebagaimana pesan Pokok Pikiran VII pada MADM?
Berdasarkan uraian-uraian di akhir tulisan ini, maka bagi penulis, fenomena pembangkangan tersebut adalah masuk ke perkara serius. Maka Pimpinan agar segera meresponnya secara tegas, terukur, dan proporsional! Sekali lagi, jika Pimpinan salah atau meremehkan dalam meresponsi fenomena pembangkangan tersebut, maka akibatnya akan bisa sangat fatal!
Wa-ALLAHU a’lam bishshawwab[*]