Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Setelah mencermati keterbelahan bangsa selama ini, saya menilai bah
wa pemerintah sangat perlu memperbaiki pemahaman, cara pandang dan perlakuannya terhadap umat Islam yang kritis atau berseberangan dengannya.
Kemunculan diksi Cebong dan Kampret (yang terakhir itu, kampret, kemudian malah disebut Kadrun, yang di dalam media sosial juga pernah dijuluki secara peyoratif sebagai seracen) pada periode kedua kepemimpinan Jokowi hanyalah kelanjutan keterbelahan lama.
Malangnya, posisi hadap-hadapan (head to head) itu dirasakan oleh kelompok umat Islam sebagai konflik asimetris.
Mencermati kondisi ini pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin sangat khawatir. Baginya, jika mayoritas penduduk Indonesia (mayoritas) pun sudah merasa cemas, maka kecemasan minoritas tentulah berlipat ganda.
Pemerintah Indonesia tentu bisa membanding dengan sikap Presiden Rusia Vladimir Putin yang terkenal selalu merasa perlu mengutip ayat Alquran dalam pidatonya seperti kemaren saat memperingati Hari Persatuan Nasional Rusia 4 November 2020.
Putin menyadari pentingnya partisipasi umat Islam tak hanya di dalam suatu Negara, tetapi juga secara global. Tentu Putin faham sejarah Islam dan hak-hak normatif semua orang yang wajib dihargai penuh.
Jika itu bisa dilakukan pemerintah maka slogan yang selalu digaungkan tentang persatuan dan kesatuan akan serta merta beroleh jalan mulus.
Di dalam tubuh umat Islam Indonesia juga ada keterbelahan. Benar bahwa pemerintah beroleh dukungan dari kelompok umat Islam tertentu.
Tetapi itu tidak serta merta menjadi legitimasi untuk mempermainkan “politik belah bambu” yang meninggikan sebelah dan menekan yang lain.
Semua Agama
Semua agama memiliki ajaran yang memotivasi penganutnya memperjuangkan sebuah obsesi politik sesuai kitab suci masing-masing.
Bung Karno saat sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sangat mengapresiasi politik identitas, khususnya saat menjelaskan sila yang menyangkut perwakilan dari Pancasila yang dia tawarkan.
Pemerintah juga sangat memerlukan evaluasi ketundukannya kepada dikte-dikte imperartif yang datang dari luar dengan isu ekstrimisme dan terorisme seperti selama ini dikaitkan oleh Negara-negara Barat dengan isu Al-qaeda, ISIS dan lain-lain yang mereka ciptakan sendiri untuk melegitimasi intervensi mereka ke Negara-negara yang perlu dieksploitasi terutama Timur Tengah.
Ekonomi
Kesenjangan di Indonesia tidak bisa ditutup-tutupi dengan upaya tambal sulam yang berujung dengan glorifikasi pemerintah seperti Bansos dan BLT. Harus ada perubahan struktural yang menghendaki Indonesia mandiri seperti diminta Bung Karno dalam doktrin Trisakti (berdaulat politik, berdikari ekonomi dan berkepribadian dalam budaya).
Perubahan struktural itu meniscayakan demokratisasi Indonesia tak hanya dalam urusan pemilu belaka, tetapi juga harus menukik ke dalam semua sisi kehidupan seperti ekonomi dan pembangunan secara luas.
Jangan sampai selama ini tidak pernah sadar untuk membedakan investor dan outvestor. Modal dalam dan luar negeri yang beroperasi tidak member hal yang cukup dan semestinya kepada warga Negara, karena mereka meraup keuntungan besar di atas penderitaan rakyat mayoritas.
Penguasaan lahan oleh minoritas adalah isu terpenting yang dampaknya sudah dirasakan mengulangi. Sektor ini wajib didemokratisasi dengan taruhan apa pun.
Sepintas orang berfikir simplistik bahwa dengan UU Ciptakerja akan ada perubahan penyerapan ketenagakerjaan. Omong kosong itu harus dirontokkan.
Seruan Untuk Oposisi
Rakyat akan menyanjungmu jika kau berjuang terus bersama mereka.
Pertama. Pastikan tidak ada agenda memberi kesempatan kepada siapa pun menjadi presiden seumur hidup melalui amandemen ke V UUD 1945. Fenomena seperti ini sudah terjadi di Rusia dan Cina.
Kedua. Pastikan segera ada UU Pendanaan Parpol yang mengatur kewajiban negara melalui APBN untuk membiayai parpol Rp 1 triliun setiap partai setiap tahun. Cerdaskan rakyat agar ia tahu bahwa tidak masuk akal demokrasi bisa berkembang kalau partainya terus merampok meski tetap bermantel negarawan.
Ketiga. Pastikan dibuat UU Pemilu yang kejurdilannya tidak sekadar dead metaphor (pameo mati) tetapi akuntable dan bertanggung jawab. Misalnya, jika kita membeli sepatu di suatu toko, namun setelah tiba di rumah sepatu itu ternyata memiliki cacat. Pemilik toko wajib mengganti atau jika tak punya stock sepatu yang sama ia wajib memulangkan uang.
Pemilu kita tak memiliki cara yang benar tentang bagaimana menilai kejurdilan pemilu dan pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab penyelenggara. Mengapa hanya dia yang punya data? Bagaimana orang yang ingin melawannya di pengadilan melakukan kewajibannya jika data tidak ada? Karena itu harus ditetapkan metoda yang tepat dan diakui oleh UU yakni Telisik Forensik Pemilu.
Kursi legislatif sangat mahal dan kini jatuh ke tangan orang yang menang konstestasi karena transaksi. Itu berakibat rendahnya kapasitas anggota legislatif.
Karena itu, dalam UU pemilu nanti dapat dilipatgandakan jumlah kursi legislatif menjadi 10 kali lipat atau lebih dari jumlah yang sekarang. Sebagian tidak usah dipilih karena menjadi jatah bagi organisasi dan golongan yang sangat perlu terwakili di negeri ini. Dengan begitu persaingan transaksi tidak lagi menjadi arusutama politik Indonesia.
Keempat. Pastikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berbasis konstitusi. Hingga kini boleh dikatakan bahwa Indonesia tidak memiliki disain makro ekonomi, yang ada cuma rancang blue print sikap manis di hadapan kapital (multi national corporations) dan negara-negara pendikte.
Kelima. Make no mistake, Indonesia tak akan seburuk ini jika dipandu oleh garis besar cita-cita bangsa. Misi negara dalam konstitusi itu ialah: (1) melindoengi segenap toempah darah dan seloeroeh bangsa Indonesia. (2) memadjoekan kesedjahreraan oemoem. (3) mentjerdaskan kehidoepan bangsa.
Keenam. Pada sejumlah pasal UUD 1945 masih banyak aturan tentang pemenuhan hak warga negara jang wajib didjamin oleh negara. Negara, pemerintahan dan kebijakan pembangunan wajib berjangkar pada paradigma itu dan tak latah mengambang kian kemari. Karena dengan begitulah adil makmur dan sejahtera dengan pasti dapat didekati secara reàlistis.
Dengan berpedoman konstisten kepada konstitusi tak akan ada lagi yang senang menjadi komprador dan koruptor. Tak ada lagi kedunguan karena kewajiban negara mencerdaskan kehidupan bangsa terpenuhi. Tak ada lagi orang miskin karena konstitusi yang dijalankan juga menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Ketujuh. Make no mistake, hanya dengan begitulah Papua pasti akan merasa dirinya menjadi prasyarat mutlak bagi keberadaan Indonesia dalam Bhinneka Tunggal Ika dan tak akan ada lagi darah dan air mata yang perlu mengucur di sana. Juga di kolong-kolong jembatan dan wilayah terisolasi di seluruh tanah air yang hingga kini merasakan lebih banyak dipaksa bersatu ketimbang mengalami proses secara alamiyah mencintai secara niscaya karena faktor senasib sepenanggungan.
Kedelapan. Audit dan tinjau cengkeraman khilafah Cina di Indonesia melalui One Belt One Road (OBOR) yang bermetamorfosis menjadi nama lebih lunak Belt and Road Inisiatif (BRI) sebagaimana telah dilakukan oleh Perdana Menteri Malaysia Tun Dr Mahathir.
Kesembilan. Pikirkan bagaimana cara memperkuat lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan dan itu tak boleh dikorbankan karena menyanjung KPK atas nama nama apa pun apalagi mitos palsu.
Di berbagai negara kegagalan lembaga serupa terutama disebabkan oleh karena ia harus menyembah kepada orang yang mestinya ia periksa dan tangkap. Jika KPK hanya mampu berwacana besar dengan kerja kecil-kecil, pasti akan lebih banyak memperburuk populisme yang sesat.
Kini bernafaslah lega. Raih martabatmu. Bangun negerimu. Jangan biarkan Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika berhenti sebatas slogan “Harga Mati”.Jangan mau mati bersama pengumbar slogan mati “harga mati” itu. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut.