
Indonesia adalah negara yang paling senjang dan menjadi lahan yang subur untuk radikalisasi. Itu disebut tegas oleh Prof Dr Didik J Rahbini kemaren, pada seminar Majelis Tarjih. Jika dirunut sejarahnya, ternyata ini sudah berlangsung sejak pertamakali penjajah Portugis datang dan bercokol di sini (1509-1595) yang kemudian disusul oleh 5 bangsa penghisap darah lainnya (Spanyol, 1521-1692; Belanda,1602-1942; Perancis, 1806-1811; Inggris, 1811-1816); dan Jepang, 1942-1945).
Adalah kebodohan yang “dikehendaki pihak dominan dalam satu bangsa” seperti di Afrika Selatan zaman pra Nelson Mandela, memperjuangkan moderasi keberagamaan oleh kaum elit yang dipilih tanpa memahami fakta dan akar masalah kesenjangan sosial ekonomi.
Hambatan ketidakadilan dan kesenjangan sosial ekonomi yang dipelihara zaman pra Nelson Mandela yang berakar pada kolonialisme kita tahu telah membawa korban kemanusiaan yang tak terperikan. Tetapi itu hanya menjadi catatan pinggir belaka karena mereka tahu cara memutarbalik fakta bahwa dengan penjajahanlah interaksi dengan modernitas berlangsung di semua koloni.
***
Nelson Mandela sendiri ditetapkan secara hukum sebagai radikal, ekstrimis, kriminal dan sebutan khas kolonial lainnya karena nenentang kondisi struktural yang sangat menindas mayoritas (Benson, 1986).
Ia lama sekali mendekam di penjara. Bayangkan, 27 tahun penjara, terbagi antara Pulau Robben, Penjara Pollsmoor dan Penjara Victor Verster. Ia pun sadar kemajuan missi agama tertentu di negerinya sangat pesat dan itu dikendalikan ketat dari negara paling maju.
Tetapi orang yang beragama di sini mungkin hanya ingin sukses mengejar kesalehan pribadi. Itu corak dan mazhab teologi yang diajarkan. Makanya tak ada secuil pembelaan untuk Nelson Mandela; dari kaum elit keagamaan, dari lembaga kemanusiaan dan apalagi media arus utama.
Bahkan Tuhan yang selalu dialamatkan doa untuk keselamatan “akhirnya tahu” tak pernah beroleh lantunan narasi permintaan keadilan sosial kecuali dari warga jajahan pemilik asli benua hitam yang tertindas. Tuhan dan agama telah tak difahami sejatinya di sini.
Mungkin orang menjadi tak tersalahkan jika berfikir di sini bahwa Tuhan berkulit hitam perlu hadir memimpin perlawanan terhadap Tuhan berkulit putih seperti ditulis Greg Keyes dalam Blackgod (2015) dan Biko Lives (2008). Ketika membuat resensi terhadap Biko Lives, Tinyiko Maluleke memberi judul ulasannya sangat mengharukan “May The Black God Stand, Please! Biko’s Challenge To Religion”.
Bersambung (Hal 3)