Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Semalam berbincang lagi dengan seorang aktivis Islam yang meminta diskusi tentang moderasi keberagamaan. Keren topik itu zaman saiki kan?
Menurutnya hal ini sangat serius dan mendesak demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meski merasa “geli” dengan narasi yang sangat umum dan awamisnya itu, saya tetap setia mendengar. Malah saya minta ia mengeksplorasi masalah sedetilnya.
Setelah ia selesai saya berkesimpulan orang ini kasihan. Sama sekali tidak faham akar masalah. Tetapi getolnya minta ampun. Kasihan NKRI jika perspektifnya dilaksanakan.
Kemudian ia pun mempersilakan saya mengemukakan pendapat. Saya manfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya, dan agar tak terasa menohok saya pun memutuskan memilih cara berbicara yang rada kocak.
***
Lucu hari ini. Selama ini orang paling bersemangat berbicara tentang moderasi keberagamaan ini justru yang umumnya boleh dikatakan terindikasi paling tak faham akar masalah. Namun tetap merasa punya mandat, karena faktanya memang mereka secara formal menjadi penyandang label keagamaan tertentu yang seolah representasi mayoritas. Akibatnya ucapan-ucapan mereka terus menerus menambah masalah. Pangkalnya ada pada wawasan yang sangat miskin.
Meski hanya mampu berputar-putar pada logika yang sesat tanpa pernah mengarah pada sebuah solusi, namun mereka selalu harus ditokohkan. Itu untuk legitimasi. Tentulah kefasihan mereka berucap dalil naqli memang terasa menduduki prioritas legitimasi terpenting, dan opini publik yang menentang dan memusuhi setiap perjuangan keadilan sosial terbentuk karena mereka. Ini bisa setara proyek global dan bisa juga beroleh banyak uang dan keuntungan lain dari situ.
Mereka tidak diberi tahu dan karena itu tidak akan pernah tahu dan tak pula pernah mencari tahu bahwa kesenjangan sosial ekonomi telah menjadi hambatan besar memperjuangkan moderasi keberagamaan.
Bersambung (Hal 2)