TAJDID.ID-Medan || Seorang penulis Mariska Lubis mengusulkan agar Imam Besar Habibi Rizieq Sihab (HRS) bersedia menjadi Juru Damai di Papua. Usulan yang disampaikan melalui twitter @mariska_lubis , Rabu (2/12/2020) ini kemudian ramai mendapat tanggapan dari warga net.
“Secara pribadi, Saya meminta dengan hormat kepada yang terhormat Habibana, Habib Rizieq Shihab untuk menjadi juru damai Papua. Sesuai ajaran Islam, mendamaikan adalah perbuatan mulia dan Saya yakin beliau sanggup,” tulis Mariska Lubis sebagai caption sebuah cuitan video yang dipostingnya.
Menanggapi usulan yang ramai menuai polemik tersebut, sosiolog FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Shohibul Anshor Siregar mengatakan, bahwa Mariska Lubis secara “genealogis” adalah iboto (saudara perempuan) dari HRS, karena melalui prosesi adat tahun 2016 yang lalu Imam Besar FPI itu telah ditabalkan menjadi marga Lubis.
Menurut Shohibul, mungkin faktor itu dapat menjadi salah satu pendorong bagi Mariska Lubis yang menyampaikan keyakinannya atas potensi HRS menjadi tokoh perdamaian di Papua yang konfliknya berkepanjangan hingga kini.
“Apakah HRS akan bersedia atau tidak? Saya kira HRS akan sangat berterimakasih kepada ibotonya atas saran tersebut,” ujar Shohibul, Jum’at (4/12/2020).
Tetapi, kata Shohibul, banyak hal akan dipertimbangkan oleh HRS dan para pemikir di sekitar beliau.
Pertama, kompleksitas masalah Papua tidak sederhana. Hulunya ada pada perasaan subjektif keterampasan (relative deprivation) rakyat Papua.
Shohibul menjelaskan, Papua adalah sebuah wilayah Indonesia yang sejak awal banyak beroleh perbincangan dunia dalam kaitannya dengan konsep Indonesia sebagai fenomena nation state pasca perang dunia ke dua. Indonesia yang terus berusaha kokoh dengan kebhinnekaannya (unity in diversity) sesungguhnya secara potensil sangat mampu merekat persatuan nasional dalam kejamakan ciri populasi dan ketersebaran tempat berdiam yang berserak dalam sebuah wilayah yang luas itu.
Namun, Shohibul menilai approach Jakarta selama ini dapat disebut gagal meski pun alokasi dana Otsus telah dikucurkan. Kebijakan itu tidak serta merta berhasil karena praktik di lapangan banyak penyimpangan.
Susah membahtah fakta kekayaan sumberdaya alam lokal yang amat kontras dengan tingkat kemiskinan rakyat.
“Kompleksitas itulah saya kira yang pertama akan dikaji serius untuk memustuskan apakah HRS akan menerima usul ibotonya tadi,” tuturnya.
Kedua, HRS akan beroleh masukan dari orang-orang dekatnya bahwa akhir dari kata putus tentang perdamaian Papua adalah kekuasan negara.
“Karena itu saya menilai HRS akan disarankan oleh orang-orang dekatnya untuk hanya memberi konsep solusional dan berbicara dengan tokoh kunci di Papua, pemerintahan nasional dan unsur-unsur kekuatan asing baik dari pemerintahannya maupun wakil-wakil pemodal,” ungkapnya.
Jika cetusan ide ini makin meluas, lanjut Shohibul, pastilah menjadi sebuah publikasi yang lebih intens tentang apa sebenarnya yang terjadi di Papua. Kasus Papua mungkin telah banyak dibicarakan oleh elit dan dalam ranah diplomasi internasional yang sesungguhnya tak pernah dihadapi dengan tuntas.
“Dengan menyangkutkan nama HRS dalam rencana Damai Papua political marketing menuju penyelesaian kasus itu kini beroleh panggung yang bernilai tinggi,” katanya.

Ketika ditanya tentang kesan sikap pemerintah ke HRS yang menganggapnya seolah “musuh negara”, Shohibul menjelaskan, pemerintahan di seluruh dunia, bahkan sejak dahulu kala selalu ingin tak begitu banyak beroleh kritik apalagi penentangan.
Menurutnya, Itulah awal sejarah terbangunnya kesadaran atas pentingnya sebuah sistem politik yakni demokrasi yang menjamin perbedaan pendapat diturunkan menjadi kelaziman masyarakat manusia yang tadinya dianggap sangat tabu dan pelakunya dipandang sebagai musuh.
“Padahal, sejatinya demokrasi itu selalu didefinisikan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat,” pungkasnya. (*)