TAJDID.ID-Medan || Putera asli Medan Utara R. Khairil Chaniago mengatakan, banjir air pasang laut (banjir Rob) yang sudah beberapa tahun belakangan ini melanda kecamatan Medan Belawan, serta sebagian Medan Labuhan dan Medan Marelan, kini semakin memprihatinkan dan meresahkan, karena ketinggian air pasang sudah di atas rata–rata normal dan menenggelamkan puluhan ribu rumah warga, serta kerap terjadi baik pada waktu siang maupun malam.
Menurut Khairil, hal ini tidak bisa lagi sekedar dianggap siklus alam belaka, situasi ini sudah bisa diklasifikasikan sebagai bencana, sebab telah mengancam, keselamatan maupun kesehatan masyarakat, munculnya bibit penyakit, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
“Tentu hal ini tidak bisa terus kita biarkan, pemerintah daerah perlu hadir dan membuka mata untuk segera mengambil langkah solutif untuk menanganinya,” tegas Ketua Presedium Lintas Eksponen 98 Sumut ini, Senin (21/1/2020).
Untuk menyelesaikan masalah ini, lanjut Khairil, terlebih dahulu kita harus mengetahui sumber masalahnya agar langkah–langkah penyelesaian masalah dapat dilakukan dengan terukur dan objektif.
Khairil menjelaskan menurutnya ada beberapa factor yang menyebabkan hal ini terjadi disamping faktor pemanasan global, yakni antara lain rusaknya zona penyangga (buffer zona) akibat beralihnya fungsi hutan mangrove, reklamasi alur laut untuk pengembangan pelabuhan Belawan, pendangkalan yang terjadi diseputaran wilayah pantai, drainase yang kurang tertata dengan baik dan menumpuknya sampah.
Khairil memaparkan, rusaknya zona penyangga (Buffer Zona) ini tidak terlepas dari beberapa kegiatan antara lain; (1) pengalihan lahan mangrove menjadi areal PLTU seluas lebih kurang 120 hektar yang terletak di paluh kurau, (2) pengembangan untuk usaha budidaya tambak baik di kelurahan sicanang maupun di seputaran sungai dua, (3) pengembangan kawasan perkebunan sawit yang menutup beberapa jalur paluh di daerah paluh kurau dan sekitarnya (4) perubahan kawasan mangrove menjadi depo peti kemas. Dampak dari perubahan fungsi zona penyangga ini mengakibatkan air pasang kekurangan akomodasi dan akhirnya meluber ke wilayah pemukiman penduduk, kondisi Ini menujukkan bahwa proteksi pemerintah terhadap buffer zona sangat lemah.
Dalam perencanaan wilayah atau kawasan, kata Khairil, buffer zona adalah sesuatu yang mutlak, tidak boleh ada pembangunan atau dibiarkan sebagaimana mestinya , kawasan ini harus dipertahankan sebagaimana aslinya untuk memelihara keseimbangan ekologi.
“Jangan sampai konsep rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang terkesan mengabaikan undang-undang No 26 tahun 2007 Tentang penataan ruang yang mengisyaratkan untuk mendukung upaya pengurangan resiko bencana dan prioritas pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat,” kata Khairal.
Maka, kata Khairil, solusi terdekat yang harus dilakukan adalah Pemerintah Propinsi Sumatera Utara adalah melaksanakan “Pemulihan Ekosistem” Mangrove yang ada di pesisir pantai kota Medan maupun kabupaten tetangga, karena kota Belawan di sisi barat dan timurnya diapit oleh 2 (dua) zona penyangga yaitu paluh Kurau dan Sungai Dua yang secara adminitrasi masuk kedalam wilayah Deli Serdang.
“Solusi berikutnya adalah lakukan moratorium atas pembangunan depo-depo peti kemas yang berada di areal sepadan pantai belawan sebelum ada kajian teknis yang menjamin terjaganya kelestarian lingkungan yang mendukung kenyaman hidup masyarakat di Belawan,” kata Khairil.
Dan selanjutnya, kata Khairil, lakukan evaluasi terhadap Kajian Tenaga Ahli atas penyusunan dokumen AMDAL pada pekerjaan reklamasi alur laut guna pembangunan dermaga pelabuhan Pelindo 1, hal ini berkaitan dengan rona awal dan dampak yang ditimbulkan akibat pelaksanaan proyek pembangunan tersebut bagi wilayah hunian masyarakat.
Adapun terkait rencana pembangunan tanggul laut untuk mengatasi banjir air pasang laut, lanjut Khairil, mungkin itu bisa dikategorikan solusi jangka menengah dan jangka panjang, sebab rencana tersebut sudah berulang kali di wacanakan sejak tahun 2016 tanpa realisasi dengan alasan revisi dan peninjauan ulang.
“Namun sebagai cermin kita bisa melihat apa yang terjadi di Semarang, dimana tanggul laut ternyata belum mampu memberikan penyelesaian masalah secara tuntas,” sebut Khairil.
Oleh karena itu, kata Khairil, Pemerintah kota Medan dan propinsi harus bertindak cepat dan tepat untuk memulihkan situasi> Menurutnya, sikap tegas berbasis prinsip-prinsip keadilan bagi masyarakat perlu di terapkan, jangan sampai bisnis kaum pemodal lebih di utamakan dengan mengabaikan tujuan dari Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yaitu mewujudkan wilayah yang sejahtera, merata, berdaya saing dan berwawasan lingkungan, sesuai perda Nomor 2 tahun 2017 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sumatera Utara yang berorientasi kepada terciptanya lingkungan dan ruang yang nyaman, asri dan teratur.
“Belawan adalah pintu gerbang perekonomian nasional bagian barat, karena di kecamatan Medan Belawan terdapat pelabuhan terbuka untuk perdagangan internasional, nasional dan regional, yang menjadi urat nadi perekonomian Sumut dan propinsi lainnya di pulau Sumatera,” pungkasnya. (*)