Penunggu Menara Gading
Adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa khir-akhir ini terjadi sebuah kecenderungan yang sangat tidak mengenakan untuk dilihat dalam kondisi kekinian kaum intelektual, terutama yang berada di perguruan tinggi. Kampus hari ini benar-benar menjadi sebuah potret bangunan menara gading yang sangat kokoh dan angkuh, serta semakin tidak terjangkau masyarakat kecil.
Intelektual yang ada di dalamnya pun cenderung tidak mencoba membebaskan diri dari menara gading itu, entah dikarenakan mereka telah sangat puas hanya cukup dengan melakukan riset, tanpa kemudian tahu apakah riset tersebut benar-benar dapat diterapkan di masyarakat. Yang jelas, kegiatan-kegiatan kaum intelektual di perguruan tinggi pun cenderung pada kegiatan prosedural-administratif belaka, bahkan tidak jarang menjadi golongan hedonis yang tidak memiliki kepekaan sosial terhadap sekitarnya.
Tentunya, inilah yang harus segera diubah, intelektual perguruan tinggi harus kembali ke masyarakat, mengamalkan ap yang tertulis dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Sudah saatnya hari ini intelektual meruntuhkan menara gading, sebagai pertanggungjawaban atas ilmu yang mereka miliki. Sebagai jawaban atas harapan masyarakat terhadap sosok intelektual-intelektual muda yang tercerahkan, yang diharapkan bisa menolong mereka keluar dari kesengsaraan hidup di dunia, paling tidak.
Intelektual hari ini, tidak lagi dituntut hanya melakukan riset bagi masyarakat, tetapi juga melakukan pendampingan terhadap masyarakat. Ilmu-ilmu yang telah didapatkan dalam bangku kelas, bukanlah sebuah ilmu yang tidak dapat diterapkan, tetapi untuk mengetahui bagaimana menerapkannya. Maka kita harus menerapkannya secara langsung di masyarakat. Apa yang terjadi dalam tataran teoritik hari ini sudah terlalu jauh dengan apa yang terjadi di lapangan.
Di sinilah intelektual digugah, apakah kaum intelektual akan tetap duduk di singgasana menara gading ilmu yang megah. Selalu hadir mendemonstrasikan wacana dan menjual bualan yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan masyarakat hari ini.
Jika cendikiwan Muslim seperti Ali Syari’ati menganggap Ulama yang telah menjual diri kepada kelas penguasa adalah seorang pengkhianat Islam, maka bagaimana dengan intelektual yang juga telah menjual diri mereka kepada penguasa?
Memang, berada dekat kekuasaan dan politik bukanlah sebuah hal yang salah dan diharamkan. Tetapi perlu diingat, “bermain-main” di zona politik praktis dan kekuasaan itu sangat riskan. Sebab dalam politik tidak ada istilah benar atau salah, yang ada hanyalah menang atau kalah.
Antonio Gramsci juga pernah berpendapat, intelektual tidak sepantasnya nonpartisan alias menjauhi kekuasaan. Intelektual tidak bisa kehilangan konteks, yakni relasi yang timpang antara penguasa dan rakyat. Relasi yang diwarnai penindasan dan kesewenang-wenangan.
Karenanya, intelektual tidak bisa steril dan bebas nilai. Mereka harus bersikap dan menentukan posisi, berada bersama rakyat yang ditindas dan karenanya membangun wacana counter hegemony, atau berada di posisi penguasa dan karenanya kreatif memproduksi hegemoni sehingga ide dan gagasan penguasa bisa diterima publik.
Lalu, bila politik dan kekuasaan (masih) menjadi barometer atas peran yang dimainkan kaum intelektual, apa yang bisa diharap atas peran mereka sebagai “makhluk terhormat” di mata masyarakat?
Menurut penulis, setidaknya kaum intelektual dituntut untuk selalu peka atas setiap arah gerak perubahan yang berimplikasi langsung pada masyarakat. Intelektual senantiasa dituntut tanggap menyikapi situasi kebangsaan.
Kaum Intelektual juga diharapkan selalu memprioritaskan kemaslahatan umat di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Intelektual sejati senantiasa bervisi membawa bangsa ke arah yang lebih baik, dan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan kelompoknya sendiri, apalagi sekadar untuk memburu materi. (Bersambung)