TAJDID.ID-Medan || Sekretaris jenderal ASPEK Indonesia, Sabda Pranawa Djati mengatakan, sebenarnya sinyalemen adanya upaya manipulasi dalam RUU Cipta Kerja atau RUU Omnibuslaw sudah bisa dibaca petanya.
Dari awal, bila kita cermati, judulnya saja sudah manipulatif, artinya manipulasi itu sudah diframing sejak awal, dimana judulnya UU Cipta Lapangan Kerja. Tapi karena diplesetkan oleh buruh dengan RUU Cilaka, maka pemerintah merubahnya jadi UU Cipta Kerja.
“Framing dari judul ini sepertinya ingin menanamkan ke mindset publik bahwa pemerintah itu pro pada penciptaan lapangan kerja dan siapun yang menghalang-halangi RUU omnibuslaw akan dianggap dan diposisikan sebagai pihak-pihak yang anti penciptaan lapangan kerja,” ujar Sabda ketika tampil sebagai salahsatu pembicara dalam acara Serial Webinar KMPK (8) dengan tema ‘UU No. 2/2020 Manipulasi Korona: Pro Pengusaha & Abai Buruh’, Jum’at (14/8/2020). .
Belum lagi dari sisi isi, lanjut Sabdam pemerintah selalu mengatakan UU Omnibuslaw dibuat untuk melindungi pekerja. Dan juga jargon yang selalu digaungkan terkait dengan UMKM.
“Tapi setelah kita pelajari secara detail seluruh pasal RUU Omnibuslaw Kerja itu justru bisa dibilang 95 persen adalah mereduksi UU No 13 Tahun 2003,” sebutnya.
Kemudian yang menarik lagi, Sabda membeberkan ada satu pasal yang sangat kontroversial di RUU Cipta Kerja yakni pasal 170 bahwa yang berbunyi; “Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini”.
Menurut Sabda, ini sebenarnya memegaskan pemerintah sama saja sedang minta cek kosong kepada DPR. Dan jika DPR menyetujuinya, maka yang terjadi kelak adalah pemerintah akan membuat aturan secara sepihak tanpa harus dibahas dan dapat persetujuan legislatif
“Ini sangat parah sekali dan terlihat bahwa pemerintah bermaksud mengambilalih segala kewenangan yang ada di lembaga lain, seperti di legislatif maupun yudikatif,” kata Sabda.
Lucunya, kata Sabda, tentang kontroversi pasal 170 ini sempat diklarifikasi oleh tiga menteri, dimana ada yang bilang salah ketik dan ada juga yang bilang memang begitu.
Upaya manipulatif yang dilakukan pemerintah dapat juga kita lihat pada Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019 tentang Satuan Tugas Bersama Pemerintah dan KADIN untuk Konsultasi Publik Omnibuslaw
“Yang duduk di Satgas Omnibuslaw itu mayoritas pengusaha semua, tidak ada satupu ada elemen masyarakat sipil dan buruh. Pembahasannya juga sangat tertutup dan tidak membuka partisipasi publik,” jelas Sabda.
Lebih lanjut Sabda mengatakan, para pengusaha di tengah pandemi Covid 19 seperti berlomba-lomba untuk melakukan perbuatan semena-mena terhadap pekerja dengan dalih Pandemi Covid-19, seperti PHK massal, tidak dibayarnya THR selalu dikaitkan dengan pandemik.
“Pada hal THR adalah pendapatan non-upah yang seharusnya sudah dipersiapkan oleh pengusaha satu tahun sebelum jatuh temponya,” tegasnya
Konyolnya lagi, kata Sabda, ada pula Surat Edaran Menaker tentang THR yang membolehkan pengusaha untuk mencicil atau tidak membayar secara penuh.
“Padahal UU No 13 sudah memerintahkan THR sudah dicairkan 7 hari sebelum lebaran,” sebutnya.
Webinar yang dipandu Sekjen KMPK Auliya Khasanofa ini menghadirkan keynote-speaker Prof Dr M Din Syamsuddin (Ketua Komite Pengaraha KMPK) dan sejumlah pembicara, diantaranya, Dr MS Kaban (Masyumi Reborn), Sabda Pranawa Djati (ASPEK Indonesia) dan Heri Hermawan (SPASI).